Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tegangan kakek dan anak kecil

Penulis : kuntowijoyo. jakarta : pustaka firdaus, 1992. resensi oleh : sapardi djoko damono.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA "Dilarang Mencintai Bunga-bunga", yang dipilih sebagai judul kumpulan cerpen ini, mengungkapkan masalah yang dihadapi seorang anak ketika harus menentukan pilihan antara bunga dan bengkel. Tokoh dalam cerpen itu adalah seorang anak laki-laki yang bersama orang tuanya baru saja pindah ke kota. Ayahnya seorang pekerja bengkel, gagah, berotot, dan tak kenal lelah oleh kerja apa pun. Pendiriannya: malas adalah musuh besar laki-laki. Di kota, si Anak berkenalan dengan seorang kakek -- mula-mula diselubungi serba rahasia, kalau bukan tahyul -- yang memilih bunga sebagai lambang kehidupan. Permainan lambang Kuntowijoyo rupanya mengikuti konvensi yang ada. Dalam perlambangan itu ia menggunakan kontras untuk menawarkan makna. Anak itu berada dalam tegangan antara Kakek dan Ayah, bunga dan mesin, ketenangan jiwa dan kegemuruhan kerja, surga dan neraka. Di rumah Kakek, si Anak belajar mencintai bunga, mencari ketenangan jiwa, dan kehidupan sempurna. Ayahnya menjadikan rumahnya sebuah bengkel yang bising oleh suara pukulan palu. Ayah memang berkuasa atas anak, memaksanya melupakan "bunga" dan melumurinya dengan kerja. Ibu memihak Ayah, memberikan tambahan, yakni mesjid. Akhir cerita, si Anak memilih kedua orang tuanya, yakni bengkel dan mesjid, kerja dan mengaji -- bukan keheningan jiwa dan bunga. Dibandingkan dengan kebanyakan cerpen Indonesia, cerpen ini tergolong panjang. Dengan masalah yang tampaknya sederhana itu tentu bisa segera dibayangkan bahwa pengutaraan yang rinci menjadi penting, bahkan merupakan teknik utama dalam cerpen Kuntowijoyo. Cerpen ini menekankan pengutaraan yang sangat rinci pada hubungan antara Kakek dan si Anak. Kuntowijoyo lebih banyak mengutarakan pandangan hidup Kakek yakni kebatinan. Saya membaca adanya tarik-menarik, dan tegangan itu berlangsung sepanjang cerita. Dalam kumpulan cerpen ini Kuntowijoyo menunjukkan perhatiannya atas berbagai masalah sosial yang barangkali tampak terlalu sepele bagi kebanyakan pengarang yang lebih memperhatikan gagasan "besar". Ia menelusuri pikiran dan perasaan berbagai jenis manusia yang sering tampak kebingungan menghadapi situasi sosial tertentu, apakah menyangkut diri sendiri atau orang lain. Ketidakmengertian itu membuahkan "kelambanan" bereaksi dalam diri tokoh-tokohnya. Cerpen "Anjing" dengan sangat rinci memerikan dan menguraikan tegangan yang diakibatkan oleh lambannya pemahaman tokoh-tokoh terhadap masalah yang mereka hadapi. Cerpen-cerpen Kuntowijoyo memberikan tekanan pada proses pemahaman dan tanggapan yang lamban itu, yang tak jarang menimbulkan keharuan -- suatu kualitas yang jarang didapati dalam banyak cerpen kita masa kini. Kelambanan pemahaman, keharuan, dan kejutan juga sangat menonjol dalam sebuah cerpen yang indah, "Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah". Dalam cerpen ini diungkapkan semacam hubungan persahabatan antara seorang kakek dan bayi. Di antara keduanya ada ibu dan ayah bayi itu yang masing-masing mencoba memahami masalah yang dihadapi dari dua pendekatan yang berbeda. Ironi menyusup dalam peristiwa demi peristiwa. Istri seorang guru hendaknya menunjukkan "martabat" guru. Tapi yang terjadi adalah keributan di antara suami-istri itu lantaran setiap malam bayinya terganggu oleh suara gerobak Kakek yang lewat. Sang istri tak bisa menerima keadaan itu, dan bahkan menggunakan kata-kata yang, menurut sang suami, tak pantas bagi seorang istri guru. Cerpen ini merupakan jalinan hubungan pemahaman antara suami, istri, dan seorang kakek. Yang terakhir ini adalah agen sosial yang melibatkan hubungan suami-istri itu ke dalam pengertian antar-manusia. Keberadaan agen luar ini berhenti ketika tercipta ketenteraman di keluarga itu. Kuntowijoyo ternyata suka menciptakan tokoh lelaki tua dan anak kecil. Namun tak semua lelaki tua itu selalu benar dan arif. Si Kakek dalam "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" mungkin arif, tapi mungkin tak benar. Kakek dalam "Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah" boleh dibilang arif dan benar. Tapi Kakek dalam "Ikan-ikan dalam Sendang" jelas tak arif dan tak benar karena memanfaatkan takhyul penduduk untuk keuntungan sendiri. Dalam "Serikat Laki-laki Tua", cerpen yang semua tokohnya lelaki pensiunan, para kakek itu kembali lagi ke dunia anak-anak. Saya membaca adanya amanat agar mereka tak terlalu bersemangat terlibat pikiran muluk-muluk, kalau ingin panjang umur. Pak Kojar meninggal karena darah tinggi. Ia terlalu bersemangat mempertanyakan prinsip kebersamaan serikat kakek-kakek itu dan "memperjuangkan" kebebasan pribadi. Ini ironi. Dan tarik-menarik itulah antara lain yang membuat cerpen-cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra dan Horison tahun 1967-1971 yang terkumpul dalam buku Dilarang Mencintai Bunga-bunga ini bernilai. Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus