Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gpk aceh dan patani

Pemerintah tidak akan memberikan konsesi politik kepada tokoh gpk aceh. pergolakan di aceh dengan patani, muangthai selatan ada persamaan. soal agama. gpk lebih menonjolkan teror dan pembunuhan.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pekan lalu Presiden Soeharto mengingatkan kepada Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, Pemerintah tidak memberi konsesi politik kepada tokoh gerombolan pengacau keamanan (GPK) Aceh. Bahkan, mereka yang masih di luar negeri harus diputuskan hubungannya dengan Indonesia. Lain dengan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Daud Beureueh pada 1953. Peristiwa itu timbul karena Aceh dilebur menjadi karesidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Setelah sukses berunding dengan Misi Hardi, Aceh kembali dijadikan provinsi. Mereka mendapat amnesti umum dari Presiden Soekarno. Dalam DI/TII berperan sejumlah anggota bekas PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) -- juga dipimpin Daud Beureueh. Inilah yang membuat penduduk bersimpati. Mereka beli senjata dari Malaya (kini Malaysia) melalui orang Aceh yang menetap di sana. DI/TII tak memperalat sentimen suku. Nama "Indonesia" tetap dijunjung. Yang dilawan, katanya, "Pemerintah Pancasila yang waktu itu dipengaruhi komunis." Setelah itu muncul gerombolan pengacau Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro. Menurut Hasan, gerakannya dapat dana dan senjata dari Libya. Bahkan saat Aceh Merdeka masih embrio, sekitar 1974, ada eks DI/TII ikut gerakan ini lebih dahulu "belajar" ke Patani. Sebelum Aceh Merdeka "diproklamasikan" 4 Desember 1976 oleh Hasan, embrionya itu disuntiknya di Bangkok bersama Dokter Muchtar Hasbi yang sedang studi tentang penyakit tropis di sana. Impian Hasan: bila proyek Gas Alam Arun di Lhokseumawe dapat direbut, kekayaan yang melebihi milik Kuwait itu bisa dipakai membangun Aceh yang berpenduduk 3,4 juta. Toh mimpinya kandas. Dalam status prematur malah Muchtar tewas tertembak, 1980, di Dusun Aras Sembilan, Kualasimpang, Aceh Timur. Tapi Hasan dan temannya menyelamatkan diri ke luar negeri. Kabarnya, mereka kini di Swedia. Adapun GPK sekarang, selain tanpa ideologi yang jelas, term skenarionya "anti Jawa". Makanya, disangka jelmaan Aceh Merdeka model baru. Karena dasar benderanya merah, mirip bendera PKI (Partai Komunis Indonesia), masyarakat menafsirkannya "komunis". Menurut Gubernur Ibrahim Hasan, kualitas dan jumlah anggota GPK yang tinggal sudah sangat kecil. "Di antaranya ada yang dilatih di luar negeri. Caranya mereka menakut-nakuti rakyat mencerminkan hasil didikan luar negeri itu," ujarnya. Isu ada anggota GPK dilatih di Libya sudah dibantah Brigadir Jenderal Nurhadi, Kepala Pusat Penerangan ABRI. Tapi, sebelumnya, di Aceh juga berserak desas-desus tentang anggota GPK yang lari kini bersembunyi di Perak (Malaysia), selain ada yang berlatih di Patani. Ajaib, kalau mereka latihan perang di sana. Lokasinya di mana? Sejak 220 pemberontak di Kota Patani menyerah pada Oktober 1984 sesungguhnya perlawanan fisik di sana telah padam. Dihitung sejak kolonial Belanda, pergolakan di Aceh dan Patani ada persamaannya. Pada 1832 Kerajaan Islam Patani ditaklukkan Raja Chulalongkorn atau Rama V. Perlawanan disundut mulai 1903. Lalu stop. Pada 1948 meletus lagi. Gerakan ini pimpinan Tuanku Mahiyiddin, anak Sultan Kadir -- Sultan Patani terakhir yang meninggal 1933 dalam pelariannya di Kelantan, Malaysia. Lalu setelah beberapa kelompok sempalan lain berontak, muncul pula PULO (Pattani United Liberation Organization) pada 1973. Dipimpin lulusan universitas, terutama eks Timur Tengah, PULO menonjolkan simbol Islam. Markas besarnya di Mekah dan didukung warga Patani yang menetap di kota suci itu. PULO menentang Siamisasi. Selain menuntut otonomi yang luas bagi 3.000.000 muslim yang hidup di Provinsi Patani, Satun, Yala, dan Narathiwat, mereka juga mendesak bahasa Melayu yang sudah diberangus diajarkan di sekun, sekolah negeri. Semua provinsi di Muangthai Selatan itu (termasuk Songkla atau Singora), sejak abad ke-14 jadi wilayah Langkasuka, atau Patani Raya. Setelah kalah, satu kesatuan ini dipecah-pecah jadi beberapa chanwat (provinsi), hingga kini. Ketika kasus Patani belum selesai, serdadu Muangthai memburu penduduk muslim, dan membakar pondok pesantren, karena dicurigai sebagai barak pemberontak. Sekarang, anak muslim dapat memasuki perguruan tinggi negeri. Juga pemuda muslim direkrut untuk tentara. Selain itu, pusat kajian Islam dibangun di Universitas Prince of Songkla, Patani. Dan cendekiawan muslim diikutkan menyelesaikan soal minoritas Melayu serta yang berkaitan dengan syariat Islam. Untuk membelah isolasi, di pedalaman dibangun jalan utama. Kini, komunikasi dan roda perekonomian berubah lancar. Selain itu, listrik masuk ke desa-desa dan siaran TV terjangkau hingga pedalaman. Juga, Raja Bhumiphol Abdulyadej, yang dianggap lambang untuk membendung timbulnya pikiran separatisme dan perpecahan antar-etnis, mendirikan istana musim panas di Narathiwat. Dahulu antara Patani dan Aceh ada kesamaan, tetapi sekarang beda sama sekali. Bahkan yang menonjol dari GPK adalah meneror -- termasuk rajin menulis nama orang-orang yang dicari untuk dibunuh. "Selain brutal dan kriminal, mereka juga mempengaruhi rakyat yang belum terjamah di pedalaman," ujar Gubernur Ibrahim Hasan. Untuk meredamnya, bisakah solusi gaya Muangthai atas kasus Patani dipakai? Tentang jalan di pedalaman Aceh, misalnya, usai Menteri PU Sutami ke sana, pada 1977 sudah diusahakan dibangun. Bila isolasinya yang akan dikuak, mengapa jalan di hinterland itu tidak segera dibuka? Lalu, kapan listrik dan televisi masuk ke pedalaman Aceh sehingga penduduk tak buta tentang informasi pembangunan negara dan bangsanya? Memang, itu baru sebuah terapi. Dan kalau bekas "luka" tadi dibiarkan kambuh, ini sama artinya kita memperagakan kebodohan. Jadi, tidak mustahil keadaan itu diperalat lagi, terutama oleh mereka yang mau bikin eksperimen, sehingga Aceh dianggap selalu senang berontak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus