Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyandarkan badannya pada kursi roda kayu. Pandangan matanya tertuju pada sekumpulan anak muda yang sedang duduk sambil bercengkerama. Pria paruh baya dengan kondisi tangan dan kaki yang sudah tidak utuh itu seperti tengah membayangkan masa lalu dan keluarganya yang kini ia anggap sudah tak ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak bakteri Mycobacterium leprae menyerang kulit hingga sarafnya pada 30 tahun lalu, Akibu merasa menjadi orang yang paling kesepian. Rumah tangga yang ia bangun bersama Buanatan, istrinya, dengan dua anak, hancur karena penyakit Hansen (Morbus Hansen). Itu nama lain dari penyakit kusta. Semenjak itu istri dan anaknya sudah tak ada di rumah. Mereka takut setelah mendapat kabar penyakit yang diderita Akibu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Indonesia merdeka, ratusan warga telah bermukim di kompleks tersebut. Mereka diasingkan dari keluarga dan negara karena mitos terserang penyakit kutukan, meski secara ilmu kedokteran mereka adalah para penderita penyakit kusta. Pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa pada 1934 menyiapkan tempat dengan menghibahkan tanah untuk menampung para penderita kusta. Namanya Kompleks Penderita Kusta Jongaya di Kelurahan Balang Baru, Kecamatan Tamalate, Makassar.
Ada sekitar 800 keluarga yang bermukim di kompleks tersebut, baik penderita, eks penderita, maupun non-penderita. Mereka berbaur tanpa sekat. Mereka hidup nyaman dan damai di kompleks tersebut meski masa lalu dan bayang-bayang diskriminasi dari luar terus membayangi. Mereka menjadikan Kompleks Jongaya sebagai rumah yang tenang untuk bertahan hidup. NASKAH DAN FOTO: IQBAL LUBIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo