Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

<font face=arial size=2 color=#ff9900>House of Natural Fiber (HONF)</font><br />Instalasi Kotoran Lobster

Jasad renik bisa menjadi subyek bagi karya seni HONF.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal April 2010, harga minuman beralkohol di toko dan warung mendadak melambung. Harga sebotol anggur merah, yang sebelumnya Rp 13.500, naik menjadi Rp 40 ribu. Kenaikan harga ini begitu mengusik Irene Agrivine alias Ira, salah seorang awak HONF (House of Natural Fiber).

Ira melihat sisi lain produsen minuman keras "underground" kian marak di mana-mana. Salah kaprah memproduksi "minuman koplo" menyebabkan korban berjatuhan. Baginya, jika diminum berlebihan, minuman keras tentu tetap akan memabukkan. Namun kenapa minuman itu tak dikemas dengan baik secara kesehatan?

Bersama awak HONF lainnya, Ira menemui seorang profesor di Jurusan Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Susah enggak bikin wine?" katanya menirukan pertanyaannya kepada sang profesor. Hasilnya, sang profesor mengirim mahasiswanya mengajarkan cara memfermentasi alkohol dengan bahan buah-buahan.

Belakangan dari kisah itu lahirlah Intelligent Bacteria-Saccharomyces Cerevisiae, sebuah karya HONF bekerja sama dengan Jurusan Mikrobiologi. Saccharomyces Cerevisiae merujuk pada nama sebuah mikroorganisme yang tergolong dalam klasifikasi yeast bukan bakteri. Karya tersebut (disingkat IB-SC) menawarkan pemanfaatan keberagaman hasil bumi Indonesia untuk menghasilkan minuman beralkohol yang aman dikonsumsi dan bermutu tinggi. Selain itu, proyek ini bertujuan mensosialisasi teknik fermentasi yang baik dan benar kepada masyarakat.

Nama Intelligent Bacteria sendiri menunjukkan pada nama program HONF. Sebagai proyek seni, IB-SC ditampilkan sebagai instalasi karya seni yang bersifat interaktif. HONF berusaha menggunakan seni sebagai cara untuk berbicara kepada publik mengenai kolaborasi antardisiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Intinya, "Karya instalasi dan media interaktif ini menampilkan perpaduan ilmu biologi, musik, fisika, dan seni," kata Direktur HONF Vincentius Christiawan alias Venzha.

Karya ini pernah dipamerkan di sejumlah pameran pada 2010, di antaranya di North Art Space Jakarta pada 18-28 Juni, Festival Kesenian Yogyakarta XXII pada 27 Juni-7 Juli, dan Selasar Sunaryo Artspace Bandung pada 19 Juli-1 Agustus.

Puncaknya, pada 2011, karya ini menang dalam festival media baru, Transmediale Award, di Berlin, Jerman. "Menyisihkan 1.000 seniman dan karya seni media baru dari seluruh dunia," kata Venzha.

Karya HONF yang teranyar tak kalah "akademis" dibanding Intelligent Bacteria. Di Jakarta Biennale 2011, HONF menampilkan karya berjudul Holy Shit. Karya itu berupa instalasi interaktif berukuran 5 x 5 meter yang menciptakan sebuah sistem analog dari sirkuit elektronik dengan menangkap "real time" low frequency dari ekosistem air dalam delapan akuarium yang masing-masing diisi dengan lobster dan tanaman air, dipadu dengan bentuk visual yang juga "real time" dari bentuk kehidupan mikroorganisme dalam kotoran hewan serta tumbuhan yang ada.

Suara-suara ganjil, seperti desisan dan kerikan, keluar dari sejumlah loudspeaker yang terpasang pada tiang di tengah ruang dan akuarium-akuarium. Suara itu adalah suara lobster, tanaman air, dan kehidupan mikroorganisme di akuarium. Di depan setiap akuarium terpasang sebuah layar yang menampilkan gerak bakteri dari kotoran lobster, yang berada di cawan kecil di sebelah kiri akuarium. "Semua suara dan gambar ini murni. Tak ada yang direkayasa," kata Venzha.

Sepintas karya HONF ini lebih mirip sebuah presentasi hasil penelitian biologi laut ketimbang sebuah karya seni yang lazim. Namun inilah instalasi pengawinan seni dan biologi ala HONF. Suara dari air, lobster, dan tumbuhan air, yang sebenarnya berfrekuensi sangat rendah, diperkuat oleh teknologi sehingga dapat didengar manusia. Bakteri lobster juga diperbesar sehingga penonton dapat melihat langsung bagaimana bakteri-bakteri yang sangat halus itu berenang-renang. Sebagai sebuah karya, mereka ingin menunjukkan bagaimana hal yang paling terabaikan, seperti kotoran lobster, pun punya kehidupan sendiri.

Di sini ilmu biologi dan teknologi dimanfaatkan untuk membuka ranah-ranah baru dalam seni rupa. Itulah yang menjadi dasar eksperimen-eksperimen kelompok ini. Sebelum bereksperimen dengan kotoran lobster, mereka bereksperimen dengan jasad renik lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus