KETIKA astronaut Neil Armstrong sebagai manusia pertama mendarat di bulan di tahun enam puluhan, yang ia jumpai hanyalah batu, kerikil, dan pasir. Di bulan hanya ada lingkungan alam, tidak ada lingkungan hidup. Berbeda halnya dengan lingkungan alam di bumi. Di bumi ada kehidupan. Di dalam tanah ada cacing, di atas permukaan tanah ada tumbuhan, pepohonan, dan hutan. Di atas tanah beterbangan jasad renik. Di bumi, lingkungan alam adalah lingkungan hidup. Tetapi banyak ahli mulai khawatir bahwa nasib bumi akan serupa nanti dengan keadaan bulan sekarang ini. Betapa tidak. Tanah sudah dikuras habis-habisan sehingga yang tinggal adalah batu bercampur debu. Dan debu dari Afrika Utara sampai tertiup ke Eropa karena banyaknya debu di gurun pasir. Dan pohon kian banyak dibabat. Mulai di benua Eropa dan benua Amerika. Habis ludas pohon-pohon ini ditebang untuk menopang pembangunan negara-negara ini. Kini tiba giliran negara berkembang untuk membabat hutannya. Untuk setiap 30 pohon yang ditebang di Afrika hanya satu yang tertanam. Di Amerika Selatan perimbangannya adalah 20 pohon yang ditebang untuk satu pohon yang ditanam. Sedangkan di Asia sepuluh berbanding satu. Bersamaan dengan menciutnya areal hutan, semakin berkurang pula tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik lainnya. Hilangnya hutan berarti pula hilangnya jenis flora dan fauna yang penting bagi kehidupan manusia. Semua bahan yang kita makan berasal dari flora dan fauna yang plasma nutfahnya berkembang di hutan. Semua obat yang menyembuhkan penyakit berasal dari bahan-bahan hasil plasma nutfah hutan. Dalam hutan masih tersimpan jutaan plasma nutfah yang masih bisa dikembangkan menjadi bahan pangan, obat-obatan, ataupun bahan industri. Hanya manusia belum mengetahuinya. Hutan juga punya fungsi mengisap karbon dari udara, dan mengembalikan oksigen bersih kepada manusia. Fungsi hutan untuk menyaring udara kotor sekarang menjadi semakin penting setelah udara banyak dicemari. Udara bumi sekarang dijejali asap karbondioksida hasil pembakaran minyak fosil, asap kendaraan, dan pencemaran industri. Bahan cemar ini sudah begitu banyaknya menyelimuti bumi sehingga mengurung hawa panas bumi untuk dipantulkan kembali ke bumi. Akibatnya, bumi semakin panas. Dan keadaan ini akan berlanjut selama 30 tahun mendatang sehingga menaikkan suhu bumi 2-3 derajat Celsius. Dengan memanasnya bumi, laut mekar dan mendorong permukaan laut naik 60 sentimeter sampai 1 1/2 meter, cukup untuk menenggelamkan Kepulauan Fiji, negara Maldives, dan sebagian pantai Nusantara kita. Memanasnya bumi juga mengubah cuaca bumi. Musim hujan dan musim kemarau menjadi tidak menentu. Kanada ditaksir akan berlimpah hujan. Amerika Serikat bagian tengah diperkirakan akan dilanda kekeringan. Indonesia pun tidak luput dari perubahan iklim. Dampak pengaruhnya sedang dikaji. Pencemaran industri juga mengakibatkan jebolnya lapisan ozon, baik di Kutub Selatan maupun di Kutub Utara. Bahkan seorang ahli Jepang, Profesor Iwasaki, berteori bahwa di atas khatulistiwa juga terdapat proses menipisnya lapisan ozon 250 kali satu milimeter dengan tekanan satu atmosfer. "Lubang Iwasaki" ini bergerak di atas khatulistiwa dan punya ukuran seluas kawasan Nusantara Indonesia. Kawasan lautan di bumi ini juga menderita kelebihan eksploitasi ikan di satu pihak dan pencemaran lautan di lain pihak. Kedua hal ini mengancam kelangsungan hidup ikan di lautan. Daftar kerusakan dan degradasi lingkungan hidup di bumi ini tentu bisa kita lanjutkan lagi, tetapi cukuplah kiranya untuk menunjukkan bahwa keadaan lingkungan bumi kita memang tidak menggembirakan. Proses ini sudah berlanjut lama. Menyadari kenyataan ini, 20 tahun lalu, 22 April 1970, Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin, Amerika Serikat, memelopori gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menjadikan 22 April 1990 ini sebagai "Hari Bumi". Sejak itu, prakarsa Nelson disambut oleh LSM di seluruh dunia dengan berbagai kegiatan untuk membangkitkan peran serta masyarakat dalam mengembangkan lingkungan hidup. Gerakan LSM selama 20 tahun ini kian meluas, dan telah juga mencakup tanah air Indonesia. Hari Bumi di Indonesia dipelopori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagai anggota tetap "Friends of the Earth International". Memperingati "Hari Bumi" tentu tidak akan memecahkan soal yang begitu rumit. Namun, "Hari Bumi" dapat menyentakkan ingatan orang mengenai keadaan dan nasib bumi yang sedang menangis dilanda degradasi lingkungan yang serius. Dan diharap dapat menggugah minat untuk mengkaji ulang proses pembangunan untuk dialihkan ke jurusan pembangunan berwawasan lingkungan. Semata-mata mencegah lingkungan bumi menjadi seperti lingkungan bulan. * Disebarluaskan oleh Dana Mitra Lingkungan dan TEMPO sehubungan dengan "Hari Bumi" 22 April 1990.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini