Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Saya ustad, bukan artis

H. zainuddin mz., seorang da'i yang sangat populer masa kini. dikagumi berjuta umat di seluruh nusantara. ceramahnya terkadang dikarciskan. juga dikasetkan, disiarkan di radio. profil zainuddin mz.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASSA terus berdesak. Kerumunan bahkan melebar ke tepian jalan tol, memaksa jalan tol Dupak, dalam Kota Surabaya, ditutup sementara. Hujan pun turun. Hadirin kuyup. Namun, orang-orang itu tak beranjak dari tempat. Termasuk seorang ibu yang menggendong anaknya. Mereka seolah larut oleb suara sang Ustad dari podium, yang mengajak massa bersama-sama membaca salawat, "memohon agar Allah menunda hujan." Segera bacaan salawat puluhan -- bahkan mungkin mencapai ratusan -- ribu orang membahana. Alhamdulillah, Allah mengabulkan permohonan itu. Hujan pun reda. Kemudian sang Ustad memberi aba-aba, agar salawat sampai di situ saja. Tanah lapang Dupak, tempat berkumpul itu, pun berubah senyap. Suasana betul-betul sunyi. Massa sedemikian terpaku, menunggu kata-kata "bertuah" yang bakal meluncur dari mulut Ustad. Di Surabaya, Februari lalu H. Zainuddin Mz., ustad itu, berhasil sepenuhnya "menyihir" massa. Selama dua jam, massa dibikinnya diam dan mengunyah setiap kata yang ia ucapkan. Di Jakarta, bulan puasa ini, Zainuddin juga membuat ribuan jamaah pada sejumlah masjid. Harian Pos Kota yang punya acara. Mereka tahu, banyak umat gandrung pada suara Zainuddin. Maka, untuk acara ulang tahun April ini, Pos Kota "mengontrak" Zainuddin. Ustad ini mereka kelilingkan ke berbagai wilayah Ibu Kota, buat berceramah. Lihatlah, misalnya, di Masjid Muyasyirin Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sejak magrib, masjid itu telah dipenuhi jamaah. Lebih daripada biasanya -- bukan cuma dalam jumlah tapi juga dalam suasana. Biasanya anak-anak ramai bergurau sebelum dan sehabis tarawih. Tapi kali ini suasana sangat tenang. Ucapan "jangan ribut, nanti habis tarawih kita akan mendengarkan khotbah ustad kita yang terkenal Zainuddin Mz." cukup untuk mengunci celotehan anak-anak itu. Mereka sabar menunggu. Sedangkan ustadnya baru hadir setelah pukul sembilan malam. Satu-satunya hal yang membuat mereka kesal adalah rangkaian anggrek di seputar podium. Bagi mereka, anggrek itu tak menciptakan keindahan. Malah cuma menghalangi mereka memandang wajah sang Ustad. Maka, mereka berteriak "singkirkan!" Begitu Zainuddin beranjak ke mimbar, keplok pun bergemuruh. Dan segera saja tepuk tangan habis, berganti tawa, begitu Zainuddin mengatakan, "Saya ustad, bukan artis." Di Ujungpandang, Zainuddin juga disambut akbar. Stadion Mattoangin, awal April lalu, penuh sesak. Massa telah berkerumun di sana sejak jam tiga sore. Kata Andi Abdulatif, pengundangnya, ada di antara mereka sengaja datang dari Bone, ratusan kilometer di timur laut Ujungpandang. Mereka membawa bekal masing-masing dan berbuka puasa di sana. Padahal, ceramah baru dimulai setelah tarawih. Esok paginya, setelah subuh, Zainuddin berceramah lagi di stadion itu. Massa sudah menyemut lagi, entah jam berapa mereka berangkat dari rumah. Gelombang pasang naik dakwah memang nampak mencengangkan. Presiden Soeharto pun bahkan menengok ke sana. Antara lain dengan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyiapkan 1.000 pendakwah yang akan digaji rutin dan dikirim berbagai pelosok. (Lihat Box bagian 2). Namun, di tengah suasana dakwah yang sedemikian marak ada satu nama yang melejit begitu pesat. Dialah, yang namanya bisa membuat anak-anak jadi anteng, yang membuat orang-orang tak merasa keberatan menunggunya berjam-jam: "Haji Zainuddin emzet". Pemunculan nama Zainuddin memang bak seorang mahabintang, superstar. Setelah Rhoma Irama, Zainuddinlah sosok yang mampu menggoyang lautan manusia. Bukan dengan musik. Bukan dengan lagu. Melainkan dengan kata Rangkaian ucapannya mampu mengobarkan atau mendinginkan massa mengetuk hati atau menghibur, juga menjadikan mereka histeris atau diam. Di tengah umat yang lagi getol menyeru dakwah bil-hal -- dakwah dengan tindakan, Zainuddin seperti hendak membuktikan bahwa dakwah billisan tak mati. Ada yang bilang kini dakwah dengan kata-kata berada di titik puncak, dan Haji Zainuddin adalah bintangnya. Kenyataannya memang demikian. Seorang penjual es yang keliling di gang-gang daerah Rawabelong, Jakarta Barat, biasa memutar kaset ceramah Zainuddin keras-keras dengan pengeras suara yang digantungkan pada sepedanya. Toko buku Bulan Bintang di bilangan Kwitang, di arah selatan Pusat Perdagangan Senen, melakukan hal serupa. "Untuk menarik pengunjung," kata penjaganya. Sedang dalam sebuah pertemuan keluarga Minang di Taman Impian Ancol, seorang penjahit mengaku baru benar-benar memahami Islam setelah mengikuti ceramah Zainuddin. Di Malang dan Surabaya, ceramah Zainuddin malah dikarciskan. Sebagian hadirin rela membayar undangan masuk dua-tiga kali lipat harga yang dipasang panitia. Begitupun, masih ribuan orang tak kebagian. Ceramahnya, yang disiarkan puluhan radio, mulai menggeser ketenaran drama serial terkenal Saur Sepuh. Lebih dari itu, nama Zainuddin juga ampuh untuk menangkis tudingan "anti-Islam". Sewaktu terbetik desas-desus yang menyebut ia tak suka pada sikap santri, Kepala SMAN VI Surabaya yang melarang siswinya berjilbab berkata, "Saya ini penggemar ceramah Zainuddin Mz." Siapa sebenarnya ustad yang dirindukan itu? "Saya asli Betawi. Nama saya H. Zainuddin Hamidy Mz. Mz adalah singkatan dari Turmudzy, nama ayah saya," tuturnya. Zainuddin lahir pada 2 Maret 1952. Dalam usia dua tahun, ia menjadi seorang yatim. Kesulitan hidup menghadangnya. Sewaktu SD, ia menjadi penjual koran dan membantu pamannya menjual rokok. Saat remaja ia pernah menjadi buruh bangunan. Selepas SD tahun 1964, ia masuk Perguruan Darul Ma'arif Cipete, Jakarta Selatan. Di sanalah ia bertemu dengan sejumlah ulama terkemuka Indonesia dan Mesir. Hal yang, menurut dia, bukan saja "mengisi otak saya, melainkan juga mewarnai kepribadian." Di perguruan ini, setiap Sabtu ada pelajaran berpidato. Pada acara inilah, ia mulai belajar berbicara di depan umum. Kemudian Zainuddin kuliah di IAIN, Jurusan Perbandingan Agama. Namun, kuliahnya putus saat mempersiapkan skripsi. Yang berkembang justru bakat mubalignya. Tahun 1973-1974, ia mulai mengisi pengajian di berbagai musala dan masjid. Tapi masih terbatas. Menjelang Pemilu 1977, ia mendapat pelajaran penting. Ia turun gelanggang menjadi juru kampanye PPP. Ia muncul sepanggung bersama Rhoma Irama. Itulah saat ia mengenal lautan massa -- orang-orang yang berkumpul ditarik magnet Rhoma. Peristiwa itu ternyata mendorong karier Zainuddin sebagai juru dakwah ketimbang politikus. "Dari situ saya mengetahui sifat massa. Massa mudah terkena teror mental, mudah terkena sugesti, mudah dialihkan perhatiannya." Dan Zainuddin mulai dapat menguasai semuanya. Tak heran kalau Ridwan Saidi, bekas koordinator kampanye PPP, memuji Zainuddin sebagai seorang muda yang "berani dan membakar". Tentu modal Zainuddin bukan cuma keberanian. Ia juga dapat memadukan kehebatan tiga tokoh podium yang ia kagumi. Ia mampu menjadi singa macam Bung Karno, menguasai kehalusan bahasa Buya Hamka, atau bermain logika seperti Idham Chalid. Kalimat-kalimatnya mengalir runtut bak pendongeng, berayun, dan disesuaikan dengan sifat massa setempat. Contoh yang dikemukakannya sangat sederhana -- mudah dimengerti berbagai kalangan. Lihat bagaimana ia menguraikan soal kanaah, kesahajaan. Ia katakan, seorang muslim harus "merasa cukup" dengan setiap rezeki yang ia terima. Bila tidak, orang itu serupa monyet. Diberi pisang akan ditangkap dengan tangan kanan, diberi lagi ditangkapnya dengan tangan kiri, lalu dengan mulut, lalu kaki kanan, dan kaki kiri. Sudah begitu, "milik temannya pun hendak direbutnya." Hadirin tertawa. Di tengah riuh isu konglomerat, sebagian mereka paham sindiran tadi. Yang tak tahu-menahu masalah konglomerat pun terhibur karena "cerita monyet" itu. Konflik intern PPP menjadikan dunia Zainuddin lebih luas. Ia lalu menjaga jarak dengan partai, dan dengan politik. Akibatnya, massanya semakin melebar. Ia tidak cuma diterima oleh orang-orang PPP. Melainkan hampir oleh semua kalangan umat. Kaset ceramahnya mulai laku keras. Tablignya banyak dihadiri oleh pejabat. Dan mereka terus membutuhkan siraman rohani Zainuddin sekalipun mubalig itu berkali-kali menyindirnya. Undangan pun berdatangan. Kini setiap hari, tamu antre di rumahnya di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Mereka menunggu giliran untuk dapat mengundang Zainuddin. Belum lagi yang melalui surat. Rata-rata, kata Zainuddin, sehari ia mendapat 50 surat. "Banyak tunggakan acara yang belum dapat saya penuhi," ucapnya. Padahal, setiap hari umumnya ia berceramah empat kali. Salah seorang familinya mengatakan bahwa saat ini Zainuddin lebih sering tidur di mobil dalam perjalanan ketimbang di tempat tidur. Zainuddin sendiri mengatakan, masalah utamanya adalah bagaimana membagi waktu buat dakwah, keluarga, Yayasan Nurul Falah yang dipimpinnya, serta -- sebentar lagi -- untuk sebuah pesantren yang kini sedang dibangun di Nagrek, Jawa Barat. Meledaknya minat umat untuk mendatangkan Zainuddin menimbulkan birokrasi. Muncul koordinator-koordinator daerah yang mengatur acara ustad ini. Semua itu muncul atas inisiatif mereka sendiri, bukan dari Zainuddin. Menurut Ali Badri, koordinator wilayah Surabaya dan sekitarnya, saat ini telah terbentuk 26 koordinator daerah di seluruh Indonesia. "Hanya Timor Timur yang belum ada," kata Ali Badri. Merekalah yang menentukan kegiatan, mengatur pengamanan, serta mengurus semua keperluan Zainuddin di setiap daerah. Ali Badri, misalnya. Mulanya, pengurus Hipmi Jawa Timur ini selalu mendatangi setiap ceramah Zainuddin di Jawa Timur. Ia lalu mengorganisasikan teman-temannya untuk mengamankan Zainuddin dari serbuan massa. "Lengan ini kerap robek kena kuku-kuku mereka yang mau salaman dengan Ustad," tuturnya, sambil menunjukkan bekas goresan. Lalu muncullah ide membentuk koordinator. Rumahnya ia jadikan sebagai sekretariat. Foto dirinya bersama Zainuddin berukuran 20-R (40 X 50 cm) terpampang di ruang tamu. Sekarang -- ada atau tidak ada kegiatan Zainuddin di Jawa Timur -- selama 24 jam, rumah itu tak pernah sepi. Untuk mengajukan permohonan ceramah Zainuddin, menurut Ali Badri, paling sedikit pengundang harus menghubungi koordinator daerah empat bulan sebelumnya. Begitupun belum tentu terlaksana. Syahlan Isnadi, guru SMA Sunan Giri Gresik, mengaku sudah 22 kali menghubungi koordinator agar Zainuddin dapat berceramah di daerahnya. Ia belum juga mendapat kepastian. Tapi ia tak juga mundur. "Habis, karisma beliau di podium tidak ada duanya, sih," ujarnya. "Beliau itu guru tunggal sekaligus pelawak tunggal." Kesulitan mendatangkan "guru tunggal" ini selalu dibayar mahal Zainuddin. Bukan saja dengan kata-katanya yang menyejukkan dan menjadikan pendengarnya lebih memahami ajaran Islam. Kehadirannya pun selalu berarti datangnya bertumpuk uang bagi panitia yang dimanfaatkan buat kepentingan umat. Misalnya untuk biaya membangun masjid atau madrasah. "Entahlah, mengapa setiap ada Bapak, orang-orang jadi gampang mengeluarkan derma," kata seorang kerabat. Untuk mengumpulkan dana bagi pemugaran Masjid Agung Malang di antaranya. Panitia pemugaran masjid peninggalan tahun 1700-an itu sengaja mendatangkan Zainuddin untuk ceramah. Untuk itu, panitia memungut "biaya undangan". Rp 5.000 untuk VIP, dan Rp 2.000 untuk kelas umum. Hadirin ternyata melimpah. Menurut panitia pemugaran, ada yang membayar Rp 15.000 untuk satu undangan. Dengan cara begitu saja, panitia bisa mengumpulkan dana Rp 10 juta. Mereka juga boleh memperbanyak kaset ceramah Zainuddin dan menjualnya. Dari sini terkumpul uang Rp 4 juta yang sepenuhnya buat masjid. Dengan cara serupa, Gerakan Pemuda Kodya Surabaya mengisi kas organisasinya. Mereka "mementaskan" Zainuddin di gedung Go Skate -- semula tempat ice skating yang kini lebih sering menjadi arena pertunjukan musik dan tinju profesional. Dari "mengomersialkan Zainuddin" ini, kas mereka terisi Rp 2 juta bersih. Zainuddin punya cara lain buat mengumpulkan dana. Sehabis ceramah, ia acap membentangkan serbannya. Lalu ia meletakkan uangnya ke serban itu sebagai pemancing. Serban pun dikelilingkan pada hadirin. Massa berlomba adu banyak melemparkan uang. Sekejap jutaan rupiah pasti terkumpul. Dengan dana -- yang oleh Zainuddin disebut sebagai SDBS ("Sumbangan Dana Buat Surga") -- ini, ratusan masjid dan madrasah telah dibangun. Pengerahan dana untuk kepentingan umat -- ibadah atau sosial -- adalah salah satu perhatian utamanya. Berkali-kali ia mengatakan "juallah saya," asal untuk kepentingan umat. Pokok bahasan lain yang disukai dai berjuta umat ini adalah penanaman keimanan, seruan untuk tawadu (sikap rendah hati), juga hal-hal lain yang banyak termuat dalam kitab Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Menurut istilah Zainuddin, dakwahnya adalah untuk "membentuk kader berotak Amerika, berhati Mekkah." Sekalipun menabur humor di sana-sini, Zainuddin tetap tak kehilangan kendali buat mengerahkan massa. Ia mampu menjaga wibawa di mata khalayak. Rhoma Irama menyebut Zainuddin sebagai seorang yang memiliki "maunnah" -- keistimewaan atas karunia Allah. Ali Badri mengatakan ustad itu punya kemampuan gaib. Sebagai bukti, ia menyebut bahwa hujan pun mereda setelah Zainuddin mengajak hadirin membaca salawat. Bisa jadi pernyataan ini lebih merupakan "reklame" Ali Badri untuk meninggikan Zainuddin. Tapi mungkin pula ia sungguh-sungguh meyakini demikian. Sebenarnya, sehari-hari Zainuddin bukan orang yang terlalu menjaga wibawa. Ia hampir tak beda dengan ciri orang Betawi lain: nampak santai. Sering ia membiarkan kemeja lengan panjangnya tanpa tergulung, tapi juga tak dikancingkan. Model kebanyakan celananya masih cutbrai, membesar di bagian bawah. Potongan rambutnya kelimis, sedikit panjang. Bila habis bepergian dan cukup punya waktu luang, ustad ini suka hanya berkaus oblong dan merebahkan punggungnya di kursinya di teras. Soal hobi, ia mengaku kerepotan menghitung. "Hobi saya banyak," ujarnya. Ustad ini adalah penggemar berat cerita silat karya Kho Ping Ho. Ia pun pencandu bola dan bioskop. Dalam sepak bola, ia mengagumi pemain Belanda yang bergabung di klub AC Milan-Italia, Marco van Basten. Sedang film yang paling berkesan baginya adalah Lion on the Desert yang mengisahkan perjuangan Omar Mokhtar di Sahara Libya melawan kolonial. Soal makanan, ia sama sekali tak berpantang. Ia malah menggemari jenis makanan yang oleh sejumlah orang dihindari. Misalnya petai, jengkol, dan durian. Asap rokok pun selalu mengepul dari mulutnya bagai cerobong asap. Paling sedikit dua pak rokok dihabiskannya sehari. Sewaktu sedang merokok dan diingatkan bahwa ada ulama menganggap "merokok haram", ia terhenyak sebentar. Lalu, "Aakhhhhh ...," serunya sambil terus mengepulkan asap rokok. Sebuah sikap yang tentu saja sangat tidak disukai oleh kalangan puritan. Sewaktu kecil Zainuddin tak pernah berkeinginan menjadi mubalig. "Cita-cita saya kalau nggak jadi dokter, ya pilot." Tapi kakeknya -- yang mengasuhnya setelah ayahnya meninggal -- mengarahkan ke bidang agama. Menurut Zainuddin, agaknya sang kakek hendak menunaikan amanah. Sebab, dalam buku peninggalan ayahnya ada sedikit uang dan tulisan, "untuk anak saya melanjutkan ngaji." Ternyata, dengan menjadi mubalig ia dapat hidup cukup. Di kawasan tempat tinggalnya di Gandaria, ia terbilang berada. Sebuah Accord nongkrong di garasi rumahnya yang dibangun di tanah sekitar 1.000 m. Ia juga membeli tanah di depan rumahnya yang bakal dipakai untuk membangun masjid. Namun, Zainuddin sangat bersahaja untuk ukuran dirinya. Kalau ia mau, tak seorang artis Indonesia pun dapat menyaingi penghasilannya. Kalaupun ia minta honor, agaknya Rp 10 juta setiap kali ceramah akan dipenuhi pengundangnya. Tapi ia tak pernah meminta. Begitupun orang masih memberinya honor ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Belum lagi penghasilannya dari kaset. Ia terikat kontrak dengan Naviri Record hingga pertengahan tahun 1991. Kabarnya, sudah 52 serial ceramahnya yang dikasetkan. Dan ia tak peduli, berapa banyak nilai bisnis yang berputar dari kasetnya. Tentang berapa buat dirinya, ia hilang "saya tak ambil pusing." Kenyataannya, "Alhamdulillah memadai. Rumah saya inilah hasilnya." Dalam posisi seperti itu, kehadiran Zainuddin bukan tak mengundang kritik. Terutama setelah ceramahnya dikarciskan. Ada sejumlah kalangan yang secara tak langsung menuding Zainuddin "menjual ayat" -- suatu hal yang dilarang Quran. Tapi sebagian besar tokoh Islam menyatakan bahwa yang diperbuat ustad ini sah. Tak termasuk kategori "menjual ayat". Apalagi hasil karcis pun bukan buat dirinya. Melainkan untuk kepentingan amal di daerah mereka yang mengundangnya. Dikatakannya pula, kadang ada koordinator daerah yang "nakal menjual saya pada panitia." Namun, ia mengaku selalu meluruskan kembali mereka lewat pertemuan koordinator daerah se-Indonesia secara berkala. Zainuddin sadar betul tempatnya. Maka, ia tak memungkiri diri, bahwa dirinya perlu dana. Menurut dia, sekitar 30 persen surat yang dilayangkan kepadanya berisi permohonan bantuan materi. "Adalah sangat menyakitkan bila kita tahu ada orang minta tolong pada kita, sedangkan kita dalam keadaan tak mampu menolong." Maka, Zainuddin pun terus bergulat dengan dunianya: dakwah. Ia berniat untuk terus menggelitik, mengetuk, menggugah hati umat, untuk bergerak menuju kebenaran. Soal keterkenalannya yang bak superstar, ia berkomentar sederhana. "Menjadi terkenal bukan tujuan saya, melainkan hanya alat untuk menumbuhkan otoritas. " Tapi untuk apa otoritas itu, Ustad? "Semakin tinggi otoritas kita di mata umat," jawab Zainuddin, "semakin mudah menanamkan keyakinan pada mereka. Umat tidak akan puas kalau kita sama dengan mereka. Biarlah kita nampak istimewa di mata mereka." Tak hanya itu. Alat bernama otoritas barulah ampuh bila dilandasi, menurut Zainuddin, "keyakinan bahwa diri kita sama dengan mereka. Kita hanya menjalankan sebuah bentuk ibadah yang bernama 'memberikan dakwah'." Tak mudah resep itu dijalani. Dan memang tak semua dai menjadi Zainuddin Mz. Zaim Uchrowi, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Wahyu Muryadi, Zed Abidien, M. Baharun (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus