Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menyiapkan bantuan langsung tunai atau BLT senilai Rp 31,2 triliun untuk 13 juta pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta atau yang disebut BLT Pekerja. Nilai bantuan yang akan diberikan itu sebesar Rp 600 ribu per bulan dan dicairkan sebanyak empat kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Program stimulus ini sedang difinalisasi agar bisa dijalankan oleh Kementerian Ketenagakerjaan di bulan September 2020 ini," kata Erick Thohir melalui keterangan tertulis, Kamis, 9 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program BLT untuk mendongkrak konsumsi di level masyarakat menuai beragam tanggapan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pro terhadap kebijakan itu karena dapat meringankan beban buruh yang pada masa-masa ini tak memperoleh upah penuh.
Sedangkan Institute Development of Economic and Finance (Indef) beranggapan program pemerintah justru bakal menciptakan ketidakadilan.
Dihimpun Tempo, berikut catatan penting tentang pro dan kontra wacana BLT bagi pekerja.
1. Jika Bantuan Diterima Buruh, Daya Beli Bisa Terdongkrak
KSPI menyatakan apresiasinya terhadap upaya pemerintah yang bakal mengucurkan bantuan gaji kepada pekerja. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan di masa pandemi covid-19 ini banyak buruh yang tidak mendapatkan upah penuh. Sehingga kata dia, dampaknya membuat daya beli buruh turun.
Said lalu berharap bantuan itu segera terealisasi. "Terhadap program pemberian bantuan gaji kepada buruh tentu KSPI setuju. Kami berharap program ini bisa segera direalisasikan," kata Said.
2. Data Penerima BLT Pekerja Harus Valid
Kendati mendukung program itu, KSPI memberi peringatan kebijakan subsidi gaji bagi para pekerja harus tepat sasaran, tepat guna, dan disertai dengan pengawasan yang ketat. "Data 13 juta buruh yang akan menerima bantuan ini harus valid agar pemberian bantuan upah tepat sasaran," ujar Said.
3. Dikhawatirkan Bakal Menciptakan Ketidakadilan
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengkritik kebijakan pemerintah. Dia memandang, BLT untuk pegawai berpenghasilan di bawah Rp 5 juta bakal menciptakan ketidakadilan.
Sebab, kata dia, saat ini pekerja atau karyawan di Indonesia jumlahnya sangat besar, yaitu mencapai 52,2 juta. Sehingga, kata dia, proses penetapan pihak-pihak yang mendapat BLT dinilai patut dipertanyakan. "Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan. Kenapa tidak semua mendapatkan?" ucapnya.
4. Jangan Sampai Membuat Pekerja Informal Tersisih
Di samping itu, Tauhid menganggap pekerja informal berpotensi tersisih dari daftar penerima bantuan atau tidak masuk daftar pihak yang memperoleh insentif. Musababnya, data pekerja acap dihubungkan dengan peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Tak hanya akan menimbulkan masalah untuk pekerja non-informal, pihak-pihak yang belum ternasuk dalam PKH dan belum menerima stimulus Kartu Prakerja, tidak akan dapat BLT Pekerja tersebut. "Ini tidak ter-cover," ucapnya. Ia khawatir, pada masa mendatang, bantuan ini malah akan memperlebar jurang kesenjangan.
5. Kriteria Penerima BLT Pekerja Harus Diperjelas
Selain kritik terkait ketidakadilan sosial, Tauhid memandang sasaran karyawan yang bergaji di bawah Rp 5 juta sebagai calon penerima bantuan belum tentu mencerminkan orang yang membutuhkan. Sebab, mereka tidak tergolong sebagai masyarakat miskin.
Tauhid lalu mengingatkan, masih banyak masyarakat yang mempunyai tak memiliki gaji tetap yang dinilai lebih membutuhkan seperti petani atau buruh lepas. "Mereka yang lebih berhak mendapat insentif tersebut," katanya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | EKO WAHYUDI