Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bandingkan Utang Era SBY dan Jokowi, Indef Ingatkan Beban Generasi Berikutnya

Peneliti Indef, Dzulfian Syafrian, membeberkan perbedaan utang publik pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

24 Maret 2021 | 15.48 WIB

Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di Ruang Garuda, Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019. Pertemuan dilakukan di tengah isu Demokrat menyatakan siap mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di Ruang Garuda, Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019. Pertemuan dilakukan di tengah isu Demokrat menyatakan siap mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Dzulfian Syafrian, membeberkan perbedaan utang publik pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berdasarkan data CEIC yang diolahnya, ia mengatakan utang pada era SBY cenderung seimbang antara utang luar negeri dan utang dalam negeri. "Sementara itu Pak Jokowi cenderung mengandalkan utang dalam negeri," ujar dia dalam webinar, Rabu, 24 Maret 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dzulfian menduga kebijakan Jokowi diambil melalui keputusan populis lantaran utang dalam negeri dinilai lebih diterima masyarakat ketimbang utang luar negeri. "Karena memanfaatkan nasionalisme masyarakat Indonesia. Kalau berbau asing itu agak reluctant. Kalau isu dalam negeri itu heroik."

Padahal, kata dia, biasanya dalam konteks utang, utang dalam negeri bunganya relatif lebih mahal ketimbang utang luar negeri. Kebijakan tersebut, menurut dia, bisa merugikan keuangan negara dan masyarakat.

Ia meyakini utang yang menumpuk saat ini bisa berakibat kenaikan pajak di masa depan. "Ini perkara waktu. Pajak yang naik, berarti uang yang ada di dompet kita menipis dan lari ke dompet kementerian keuangan. Berarti konsumsi dan tabungan kita berkurang. Ini harus diingat," kata Dzulfian.

Dengan urang dalam negeri yang banyak, ia menyebut likuiditas akan tersedot. Akibatnya, likuiditas untuk ekonomi riil tersendat.

Di samping itu, Dzulfian mengatakan baik di era SBY maupun Jokowi, sebagian besar utang publik pun merupakan utang jangka panjang. Ia mengatakan urang jangka panjang yang meningkat akan menjadi beban generasi mendatang.

"Mereka buat utang tapi dibebankan ke generasi berikutnya. Beban ada di generasi berikutnya," ujar dia.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021. Angka ini meningkat Rp 128 triliun dari periode Januari 2021 sebesar Rp 6.233 triliun.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus