Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia memperingatkan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik bahwa bahwa resiko penurunan pertumbuhan di kawasan tersebut semakin meningkat. Penurunan atau perlambatan ekonomi terjadi akibat berlanjutnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, yang membuat ekspor dari negara-negara kawasan ini ikut tertekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehingga dalam beberapa tahun ke depan, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara di kawasan ini akan terus merosot. Mulai dari 6,3 persen (2018), menjadi 5,8 persen (2019), lalu 5,7 persen (2020), dan 5,6 persen (2021).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu seperti apa sebenarnya dampak riil dari pelemahan ekonomi ini?
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Victoria Kwakwa, mengatakan salah satu dampak langsung yang akan terjadi yaitu pada penduduk miskin. “Ketika pertumbuhan melambat, demikian juga tingkat penurunan kemiskinan,” kata dia dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.
Victoria mengatakan saat ini Bank Dunia memperkirakan hampir seperempat penduduk di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik hidup di bawah garis kemiskinan. Bank Dunia mengukur tingkat kemiskinan ini dengan batas Upper Middle-Income Class (UMIC) dengan pendapatan US$ 5,5 (setara Rp 77 ribu) per hari. Hasilnya, jumlah penduduk miskin di bawah garis ini justru naik menjadi 24 persen pada Oktober 2019, lebih tinggi dari April 2019 yang sebesar 23,7 persen.
Namun untuk Indonesia, Bank Dunia memprediksi tingkat kemiskinan tetap terus akan mengalami penurunan hingga beberapa tahun ke depan, sekalipun lebih lambat. Untuk kelompok di bawah Upper-Middle Income Poverty Rate (US$ 5,5 per hari), jumlahnya diprediksi turun dari 54,4 persen (2019), menjadi 52,3 persen (2020), dan 50,2 persen (2021). Sementara untuk kelompok di bawah Lower-Middle Income Poverty Rate (US$ 3,2 per hari), jumlahnya juga turun dari 23,1 persen (2019), menjadi 21,3 (2020), dan 19,5 persen (2021).
Lebih lanjut, Bank Dunia mengatakan Indonesia memang telah memperlihatkan progres dari penurunan angka kemiskinan secara nasional. Namun, Bank Dunia mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah. Sebab dari Maret 2018 hingga Maret 2019, Bank Dunia mencatat 28 provinsi berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun 6 provinsi lainnya justru mengalami kenaikan.
Masalah utama ada di Indonesia Timur. Bank Dunia menyebut, saat kemiskinan di Jakarta bisa ditekan menjadi hanya 5,3 persen, tapi di saat yang bersamaan, kemiskinan di Papua masih menjadi yang tertinggi dengan 27,5 persen.