Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ekspor Tekstil Kian Turun, Ekonom Ungkap Solusi Selamat dari Ancaman Resesi 2023

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi soal turunnya ekspor produk tekstil Indonesia hingga 30 persen.

29 Oktober 2022 | 11.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Resesi. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebutkan turunnya ekspor produk tekstil Indonesia hingga 30 persen akibat berkurangnya daya beli di pasar Amerika Serikat dan Eropa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menuturkan sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah dan pelaku ekspor tekstil Indonesia agar industri itu bisa terselamatkan di tengah ancaman resesi global 2023. Pertama, ia menyarankan agar Indonesia harus lebih cepat mencari pasar ekspor baru yang potensial. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perlu lebih cepat bergerak mengunakan atase perdagangan atau perwakilan kamar dagang yang ada di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah," ucapnya melalui pesan pendek pada Jumat, 28 Oktober 2022. 

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pun menyatakan akan menyerbu pasar ekspor baru seperti Afrika, Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah. Namun, menurut Bhima langkah itu agak terlambat karena kini sudah banyak saingan dari Indonesia yaitu Vietnam, Bangladesh, bahkan dari eutopia, itu juga mulai merajai.

Bhima berharap pemerintah lebih cepat bersaing dengan negara-negara pengekspor tekstil lainnya. Terlebih, pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara kini mencapai 5,5 persen berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) 2022. Walaupun kedua kawasan itu pertumbuhannya dipresiksi melambat tahun depan di kisaran 3 persen, perekonomiannya masih tumbuh positif.

Di sisi lain, karena profil dari industri tekstil di Indonesia masih banyak yang barupa outsourcing dari brand internasional, pengalihan pasar pun juga bergantung dari merek internasional tersebut. Karena itu, ia menyarankan agar pelaku ekspor maupun pemerintah melakukan komunikasi dengan pihak merek internasional itu, sehingga mereka tetap memilih Indonesia sebagai basis produksi. 

Terakhir, Bhima menyarankan agar pelaku ekspor melakukan beberapa penyesuaian, khususnya berkaitan dengan bahan dan selera konsumen Afrika dan Timur Tengah. Sebab, kualitas dan selera masyarakat di sana, menurutnya, berbeda sekali dengan konsumen di Eropa dan Amerika Serikat. 

"Warna dan jenis kainnya itu ada perbedaan, ada karakter khusus. Nah ini mungkin perlu mendapatkan perhatian juga," kata dia. 

Sementara itu, Bhima menekankan usaha pemerintah untuk memperluas pasar ekspor harus dibarengi dengan pemberian relaksasi dan upaya mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK. Misalnya, menaikan subsidi upah untuk sektor teksil atau insentif pajak. 

Kemudian, hal yang diperlukan adalah mengendalikan impor tekstil dan pakaian jadinya. Karena di dalam negeri pun, hasil produksi tekstil dalam negeri bersaing ketat dengan produk-produk impor, padahal Indonesia dengan populasinya yang tinggi merupakan market yang besar. 

Sebelumnya: Pengusaha Tekstil Keluhkan Ekspor Turun, Impor Naik 

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja pun mengungkapkan hal yang senada. Ia berujar pelemahan daya beli di Eropa dan Amerika Serikat memicu kenaikan impor produk tekstil ke Indonesia dari negara-negara penghasil tekstil lainnya, seperti Cina, Bangladesh, Vietnam, dan India. Alhasil, terjadi daya saing yang ketat di dalam negeri. 

"Mencoba membanjiri produknya ke sini karena Indonesia merupakan negara dengan populasi keempat terbesar dan inflasinya tidak separah negara lainnya," kata Jemmy saat dihubungi Tempo, Kamis, 27 Oktober 2022. 

Situasi tersebut, menurutnya, sangat mengganggu industri tekstil secara nasional. Di satu sisi, permintaan ekspor menurun tetapi di sisi lainnya pasar dalam negeri dibanjiri produk impor. Gangguan itu menurutnya membuat utilisasi industri tekstil menurun tajam. Dampaknya, terjadi pengurangan jam kerja karyawan yang akhirnya memicu pemutusan hubungan kerja atau PHK. 

Adapun penurunan ekspor komoditas tekstil telah terjadi sejak September 2022. Ia bahkan memperkirakan penurunannya terjadi lebih parah pada tahun depan. Jemmy berharap pemerintah Indonesia bisa menjaga pasar dalam negeri untuk membangkitkan industri tekstil Tanah Air. "Perlindungan pasar dalam negeri sangat di butuhkan," kata dia. 

RIANI SANUSI PUTRI 

Baca: RI Perpanjang Ekspor Gas ke Singapura hingga 2028, Menteri ESDM: Kita Kelebihan Pasokan

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus