Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menekankan bahwa dampak dari penerapan bauran biodiesel B50 adalah penurunan jumlah ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Lebih jauh, hal ini dapat berpengaruh pada jumlah devisa negara berupa terjadinya penurunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun B50 merupakan istilah campuran solar dengan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 50 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hitungan GAPKI, jika B50 diimplementasikan dengan asumsi tidak adanya perubahan pada kondisi sawit saat ini, maka akan terjadi penurunan jumlah ekspor sebanyak 6 juta ton. Jumlah ini adalah tiga kali lipat dari perkiraan penurunan ekspor apabila B40 jadi diterapkan.
“Dengan B40 saja, kalau diimplementasikan ini, ekspor kita akan turun 2 juta ton. Kemudian kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton dari rata-rata di 30 juta ton," tuturnya dalam konferensi pers yang digelar di kantor GAPKI, Jakarta Pusat pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Menurutnya, jika persediaan atau suplai sawit Indonesia terhadap dunia berkurang akan berdampak pada melonjaknya harga minyak nabati dunia. Hal ini akan berimbas pada produk sawit yang mahal dan dapat menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia.
Adapun, menurut catatan GAPKI, produksi CPO (Crude Palm Oil) bulan Agustus 2024 mencapai 3.986 ribu ton, naik 10,2 persen dibandingkan produksi bulan Juli sebesar 3.617 ribu ton. Begitu pula dengan produksi PKO (Palm Kernel Oil) yang naik menjadi 391 ribu ton dari 344 ribu ton pada bulan Juli.
Kendati demikian, Eddy meyakini pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tidak akan secara sembrono menerapkan program tersebut. “Saya sangat meyakini pemerintah tidak akan gegabah mengimplementasikan B50, selama produksi masih stagnan seperti sekarang ini,” kata Eddy.
Ia bahkan memandang rencana pengembangan dari B35 dan B40 tersebut merupakan sesuatu yang positif. Salah satunya karena dapat menjadi peluang pemerintah untuk mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dalam negeri yang saat ini masih tertinggal dari negeri tetangga.
Dari data terbaru GAPKI, stok sawit di akhir Agustus mengalami penurunan menjadi 2.450 ribu ton dari 2.513 ribu ton pada akhir Juli 2024. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi sebanyak 10,2 persen, tingkat konsumsi dalam negeri yang naik 1,47 persen, serta peningkatan ekspor sebesar 6,35 persen.