Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo menjanjikan peningkatan kadar biodiesel hingga B50.
Ekspor CPO periode Januari-Februari 2024 turun 15 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Petani kesulitan mengikuti program peremajaan sawit karena beratnya persyaratan.
Pemerintah berencana meningkatkan program biodiesel dari saat ini B35 menjadi B40. Uji coba menambah kadar bahan bakar nabati berbasis sawit menjadi 40 persen pada solar ini digelar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun lalu. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pun menjanjikan implementasi program tersebut hingga biodiesel B50 dalam kampanye mereka. Namun rencana ini dibayangi sejumlah hambatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program biodiesel merupakan upaya pemerintah mengurangi konsumsi bahan bakar minyak atau BBM sekaligus emisi kendaraan. Sayangnya, produk ini belum bisa bersaing dengan solar. Ada biaya tambahan dari bahan baku, yaitu molekul minyak sawit, fatty acid methyl ester (FAME), yang membuat harganya menjadi lebih mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memutuskan memberikan insentif kepada produsen biodiesel dengan menutup selisih antara biaya produksi dan harga jual untuk memastikan stok terjaga. Dananya berasal dari pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.
Kebutuhan Dana Insentif B40
Pegawai mempersiapkan kendaraan berbahan bakar B40 sebelum uji jalan di Jakarta, 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Sepanjang 2023, badan ini menggelontorkan dana sebesar Rp 18,32 triliun untuk membayar insentif biodiesel. BPDPKS menutup selisih biaya penyaluran biodiesel sebanyak 12,2 juta kiloliter.
Dengan target pemerintah menyalurkan biodiesel sebanyak 13,4 juta kiloliter pada tahun ini, Kepala BPDPKS Eddy Abdurrachman memperkirakan kebutuhan insentif melonjak. "Berdasarkan perkiraan kami, insentifnya sekitar Rp 28 triliun," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Selain karena kenaikan volume, besarnya insentif akan dipengaruhi disparitas harga biodiesel dan solar. Pada awal tahun ini, selisihnya tampak melebar. Sebagai gambaran, selisih harga pada Januari 2023 berada di level Rp 715 per liter, sementara pada Januari 2024 mencapai Rp 1.382 per liter.
Jika B40 diterapkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan program ini membutuhkan 15,29 juta ton minyak sawit mentah alias CPO atau setara dengan 17,57 juta kiloliter. Artinya, insentif biodiesel bakal lebih besar lagi. Namun Eddy Abdurrachman mengaku belum menghitung nilai insentif yang harus digelontorkan lantaran hingga saat ini belum ada pembahasan biodiesel di luar B35.
Seiring dengan kebutuhan belanja yang akan naik, BPDPKS butuh tambahan pendapatan. Pada tahun lalu, mereka mengantongi penerimaan sebesar Rp 34,57 triliun. Sebagian besar berasal dari setoran eksportir yang mencapai Rp 32,39 triliun.
Ekspor CPO Terus Menurun
BPDPKS bakal menghadapi tantangan akibat melemahnya kinerja ekspor CPO serta produk turunannya. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor komoditas ini menyusut dari 2,8 juta ton pada Januari 2024 menjadi 2,1 juta ton pada Februari 2024. Dibanding ekspor pada periode Januari-Februari 2023, juga tercatat adanya penurunan volume sekitar 15 persen.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan permintaan dari berbagai negara tujuan ekspor utama melemah pada awal tahun ini. Volume ekspor ke Cina, misalnya, turun dari 375 ribu ton menjadi 326 ribu ton. Penurunan permintaan India lebih tinggi, dari 527 ribu ton menjadi hanya 240 ribu ton. Ekspor ke Uni Eropa ikut turun dari 368 ribu ton menjadi 341 ribu ton.
Pemicu utama penurunan ekspor di Cina adalah pelemahan ekonomi negara tersebut. Cina tengah menghadapi krisis sehingga permintaan CPO dan produk olahannya anjlok. Sedangkan di Uni Eropa, penurunan permintaan ada kaitannya dengan kampanye negatif terhadap sawit.
Baca juga:
Ada pula faktor kenaikan produksi minyak nabati lain. Kebijakan Indonesia menahan sementara ekspor CPO dan produk olahannya pada 2022 memicu negara lain menggenjot produksi minyak nabati. "Begitu ada larangan ekspor dari Indonesia, mereka akhirnya menanam semua karena butuh untuk ketahanan pangan," ujar Eddy Martono. Karena itu, saat ini harga sawit tertekan.
Ia memperkirakan kondisi ini masih menjadi risiko untuk ekspor sampai akhir tahun nanti. Ditambah lagi dengan konflik di beberapa kawasan yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, tekanan terhadap ekonomi global masih akan tetap tinggi.
Permintaan Pengusaha Sawit
Dia menyarankan pemerintah mempertimbangkan masak-masak rencana kenaikan B35 di tengah risiko penurunan ekspor tersebut. Bahkan, jika B50 diterapkan, dia memastikan porsi stok ekspor bakal berkurang dan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sebab, dalam lima tahun terakhir, produksi sawit anggota Gapki cenderung stagnan. Ekspor yang berkurang tidak hanya mempengaruhi pendapatan perusahaan, tapi juga negara, dari pajak, penerimaan negara bukan pajak, sampai devisa.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo punya kekhawatiran lain jika B40, bahkan B50, diimplementasikan di tengah keterbatasan anggaran BPDPKS. Anggaran belanja untuk program lain, seperti peremajaan sawit rakyat, berisiko tergerus. Selama ini saja, porsi pembiayaan insentif biodiesel mendominasi belanja badan tersebut. "Ini menimbulkan ketidakadilan."
Sebagai gambaran, BPDPKS menyalurkan insentif biodiesel senilai Rp 18,32 triliun atau 56 persen dari total pendapatan Rp 34,57 triliun pada tahun lalu. Sedangkan belanja untuk peremajaan sawit rakyat hanya Rp 1,59 triliun atau 4,6 persen dari pendapatan.
Pembukaan Lahan Sawit Baru
Program peremajaan mendesak dilakukan, salah satunya untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Jika pemerintah tak berhasil melakukan intensifikasi, Rambo waswas bakal ada pembukaan lahan sawit baru demi memenuhi kebutuhan program B40 atau lebih. "Yang dikhawatirkan itu deforestasi," ujarnya.
Rambo sadar rendahnya anggaran peremajaan sawit rakyat ini bukan karena tidak ada dana. Pemerintah bahkan menaikkan anggaran peremajaan dari Rp 30 juta per hektare menjadi Rp 60 juta per hektare mulai Mei ini. Namun, berkaca pada pengalaman mendampingi petani, proses untuk mengikuti program peremajaan sawit sangat sulit sehingga banyak warga yang gugur saat mendaftar. Salah satu syaratnya adalah petani harus mengurus berbagai sertifikat hingga bukti bahwa lahan ada di luar kawasan hutan dan tambang. Menurut Rambo, pemerintah perlu membuat terobosan untuk meningkatkan kinerja peremajaan sawit.
Rambo menambahkan, pemerintah juga perlu lebih dulu mengatur proporsi belanja BPDPKS sebelum menambah kadar campuran minyak nabati pada biodiesel. Dengan begitu, program lain yang juga penting tak tergerus habis oleh insentif. Pengaturan ini berguna juga untuk memastikan tak ada gejolak, khususnya pada stok minyak goreng, di tengah pertarungan kebutuhan bahan baku untuk energi dan pangan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi Eniya Listiani Dewi mengatakan uji coba penerapan B40 untuk sektor otomotif sudah rampung. Sedangkan untuk sektor non-otomotif, prosesnya masih berlangsung. Kementerian menargetkan proses tersebut selesai pada Desember 2024. Dia mengatakan hingga saat ini belum ada keputusan untuk beralih dari B35. "B40 untuk otomotif bisa mulai kapan saja karena sudah ada hasil uji. Tapi perlu kami konfirmasi lagi seandainya akan diberlakukan," tuturnya.
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Avit Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini.