Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kementan Ingin Naungi Bulog, Pengamat AEPI: Siapa yang Membiayai Operasinya?

Rencana Kementan yang ingin membawahkan Bulog dikritik, salah satunya soal ketersediaan anggaran. Toh, Bulog tak lagi dibiayai APBN.

24 Oktober 2024 | 23.35 WIB

Pekerja tengah membongkar beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.  Badan Pangan Nasional atau Bapanas mengakui cadangan sejumlah pangan pokok yang dikelola pemerintah melalui Perum Bulog dan ID Food cukup rendah. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Pekerja tengah membongkar beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa, 17 September 2024. Badan Pangan Nasional atau Bapanas mengakui cadangan sejumlah pangan pokok yang dikelola pemerintah melalui Perum Bulog dan ID Food cukup rendah. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengkritik usulan Kementerian Pertanian (Kementan) yang ingin menaungi Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Dia mempertanyakan kesiapan anggaran Kementan bila harus mengoperasikan badan usaha pelat merah bidang logistik tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Kalau Bulog ditarik ke Kementan, terus disuruh membeli semua komoditas, siapa yang membiayai?” ucapnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 23 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Usulan untuk menarik Badan Urusan Logistik ke bawah Kementan sebelumnya berdengung dari Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono. Tak hanya Bulog, dia juga mengusulkan agar PT Pupuk Indonesia (Persero) masuk dalam alur kooordinasi lembaganya. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi di sektor pangan dari hulu ke hilir.

Sudaryono menyebut usul ini bakal diajukan pada tahun depan, melalui peraturan presiden (perpres) tentang pengelolaan pertanian. "Intinya organisasi tetap ada di situ semua, tapi “ketua kelasnya” adalah Menteri Pertanian," ucap Sudaryono lewat keterangan tertulis, Jumat, 27 September 2024.

Menurut Khudori, hanya sedikit publik yang menyadari bahwa operasional Bulog sudah tidak lagi dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perusaan milik negara itu bekerja dengan sistem pascabayar, artinya memakai kredit perbankan komersial. Dengan kata lain, Bulog harus menanggung bunga kredit untuk melaksanakan tugas negara.

“Setelah tugasnya selesai, baru bisa mengklaim kepada pemerintah,” ucap pakar pertanian lulusan Universitas Jember tersebut.

Sistem pendanaan Bulog ini dinilai tidak efisien, terutama karena harus memakai dana perbankan komersial. Harga yang dibayar oleh pemerintah, menurut Khudori, lebih mahal dibanding swasta.

Situasi akan berbeda jika sejak awal pemerintah mengalokasikan APBN untuk operasional Bulog. Namun, Khudori mengakui besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk operator beras tersebut. Jika Bulog diminta membeli 10 persen dari kebutuhan konsumsi beras, jumlahnya bisa mencapai 3 juta ton.  

“Dengan asumsi harga beras Rp 10 ribu per kilogram, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 30 triliun,” tuturnya.

Alih-alih menarik Bulog, Khudori mengingatkan Kementan untuk menyelesaikan permasalahan harga beras dan bahan pangan lainnya. Dia menilai harga belum seimbang karena pemerintah gagal mempertemukan tanaman di hulu dengan kebutuhan di pasar.

Sebagai contoh, petani beramai-ramai menanam cabai ketika harganya sedang bagus. Namun, harganya justru jatuh saat musim panen. Kondisi ketika kebutuhan pasar tidak naik, ucap Khudori, termasuk pekerjaan rumah yang tersisa untuk Kementan. “Mempertemukan kebutuhan di pasar dengan di hulu. Supaya petani itu menanam tidak ngawur,” katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus