Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan menyoroti sejumlah persoalan dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan atau RUU EBT yang sedang dibahas di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan, Gita Anindarini mengatakan persoalan yang paling menonjol dalam RUU EBT ini adalah masih adanya energi berbahan dasar fosil yaitu batu bara. Padahal, ia mengatakan sektor energi masih menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jika sektor energi ini menjalankan bisnis secara biasa maka akan menjadi sumber emisi terbesar di Indonesia, makanya penting adanya regulasi yang meng-cover transisi energi berkeadilan di Indonesia," kata Ninda yang juga Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dalam keterangan tertulis, Rabu, 6 Oktober 2021.
Koalisi melihat gasifikasi batu bara berpotensi menghasilkan emisi dua kali lebih besar dari pembangkit gas alam Gasifikasi membutuhkan 1,75 ton batu bara untuk memproduksi 1 ton batu bara tergaskan dan menghasilkan dua sampai empat kali CO2 dibandingkan pengilangan minyak. Selain itu, Gita mengatakan Koalisi melihat gasifikasi batubara bisa merugikan negara hingga US$ 377 juta per tahun.
Persoalan lain yang tak kalah penting di dalam RUU EBT ini adalah adanya rencana penggunaan tenaga nuklir. Ninda mengatakan persoalan pertama dari rencana penggunaan tenaga nuklir ini adalah pemerintah yang diwajibkan untuk membangun tempat penyimpanan limbah lestari. Padahal, tempat pengelolaan limbah ini bisa sangat membebani keuangan negara.
"Biaya dari pengurusan limbah selama 40 tahun mencapai US$ 7,5 miliar dan akan semakin mahal. Selain itu, pembangunan tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat tinggi, di Finlandia contohnya memakan biaya mencapai US$ 3,4 miliar," kata Ninda.
Melalui diskusi publik, koalisi juga menilai PLTN sebagai kegiatan yang berisiko tinggi dan memerlukan pertimbangan teknis serta lingkungan hidup yang sangat ketat Melihat persoalan-persoalan ini.
Koalisi Masyarakat yang terdiri dari ICEL, IESR, Yayasan Indonesia Cerah, Coaction Indonesia, Trend Asia, GreenPeace, Indonesia Parliamentary Centre, dan 350.Id juga membuat petisi di Change.org untuk meminta DPR membatalkan pengesahan RUU EBT dan fokus pada energi terbarukan.
Terakhir, Koalisi berharap perlu ada harmonisasi dengan regulasi lain untuk pasal-pasal yang mengulang. Kemudian penguatan materi untuk energi terbarukan. "Satu lagi, kami mohon untuk bisa menghapus energi baru dan fokus pada energi terbarukan," kata Ninda.
Dalam diskusi yang sama, Anggota Komisi VII dari Fraksi PPP, Anwar Idris, mengatakan akan membawa masukan dari Koalisi Masyarakat dalam rapat-rapat membahas RUU EBT. "Prosesnya masih terbuka untuk menampung masukan masyarakat," kata dia.
Anwar mengatakan mengakui Indonesia tidak boleh terus menerus bergantung pada energi fosil. Menurut dia, ketergantungan terhadap energi fosil secara terus-menerus akan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global.
"Masyarakat dunia sepakat, sampai di sini tidak ada perdebatan, bahkan perkembangan energi terbarukan menjadi tren dunia saat ini dan di masa mendatang," kata dia.
Namun, ia mengatakan saat ini tidak bisa serta merta Indonesia melepaskan diri dari energi fosil. Makanya, kata dia, masih ada batubara dalam RUU Energi Baru Terbarukan. Ia mengatakan butuh waktu bagi Indonesia untuk bisa transisi melepaskan diri dari energi fosil.