Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat di Kampung Wailen, Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya menolak dua perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa dalam dan perdagangan karbon. Penolakan masuknya perusahaan itu disampaikan secara langsung pada 8 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Orang-orang tua adat dari dua marga sudah kasih tahu ke pihak perusahaan, mereka menolak perusahaan melakukan perkebunan kelapa dalam di wilayah adat mereka," kata Samuel Moifilit, perwakilan pemuda adat marga Moifilit dan Kalapain saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Jumat, 12 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua marga adat, Moifilit dan Kalapain—dari Pulau Salawati—menolak PT Pesona Karya Alam, yang bergerak dalam penanaman komoditi perkebunan kelapa dalam; dan PT Perkasa Bumi Hijau Unit I, yang akan membuka lahan usaha perdagangan karbon berupa jasa lingkungan.
Samuel mengatakan, Pesona Karya Alam telah bersosialisasi membuka hutan sekitar 4.300 hektare. Sedangkan Perkasa Bumi Hijau berencana menggarap hutan seluas 69.768 hektare. Sosialisasi dua perusahaan ini berlangsung sejak 2023. Saat sosialisasi, masyarakat adat setempat sudah menyatakan menolak perusahaan ini beroperasi.
"Tapi mereka datang terus," ujar pemuda 23 tahun itu. Hingga terakhir pada 6 Juli lalu, para orang tua adat di Moifilit dan Kalapain duduk bersama. Musyawarah mereka memutuskan tetap menolak aktivitas perusahaan di atas tanah adat mereka.
Samuel mengatakan, hasil musyawarah itu disampaikan di hadapan perwakilan kedua perusahaan tersebut di Balai Kampung Wailen, Distrik Salawati Tengah, 8 Juli 2024.
“Saat ini kami hanya ingin melindungi wilayah adat kami dari ancaman perusahaan serta menjaga hutan dan tanah nenek moyang kami sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim dunia,” ujar Samuel, mahasiswa studi akhir di Universitas Muhammadiyah Sorong, itu.
Menurut Samuel, bagi masyarakat adat Moifilit, tanah adat adalah bagian dari darahnya. Tanah adalah tempat berpijak yang melahirkan berbagai unsur kebudayaan serta simbolisme antropologis dan religius. Menurut warga Moifilit juga, tanah menjadi jaminan bagi kehidupan masyarakat serta bagian integral dan krusial bagi hidup manusia dan makhluk hidup di Pulau Salawati.
Benny Kalapain, perwakilan masyarakat adat marga Kalapain, mengatakan sebagai pemilik hak ulayat mereka tak ingin anak cucu menderita karena hutan adat marga Moifilit dan Kalapain diubah menjadi lahan tanaman kelapa.
Benny meminta supaya pemerintah menghargai dan menghormati tatanan kehidupan sosial marga Moifilit dan Kalapain. Karena seluruh kehidupannya bergantung kepada ekosistem gunung, lembah, bukit, dan sungai. “Hai kaum penguasa, perusahaan, dan orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan dan uang, sadarlah terhadap manusia lain," kata Benny, dalam keterangan tertulis, pada Jumat, 12 Juli 2024.
Soraya Do, salah satu perempuan adat Suku Moi, sekaligus aktivis Gerakan Malamoi, yang bergabung dalam Gerakan Selamatkan Manusia Tanah dan Hutan Malamoi, mengatakan penolakan masyarakat atas rencana aktivitas perusahaan, itu merupakan bagian dari masyarakat adat melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
Pilihan Editor: Bahlil Yakin Bandara IKN Siap Digunakan Sebelum 17 Agustus: Kita Akan Mendarat di Sana