Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Plus-Minus Pemutihan Utang Petani dan Nelayan

Pemutihan utang petani dan nelayan bisa memulihkan akses pinjaman. Ada risiko kecurangan penunggang gelap.

1 November 2024 | 00.00 WIB

Petani memanen buah melon di Desa Bandang Dajah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 15 Oktober 2024. TEMPO/Tony Hartawan
material-symbols:fullscreenPerbesar
Petani memanen buah melon di Desa Bandang Dajah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 15 Oktober 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Presiden Prabowo Subianto berniat menghapus kredit macet 6 juta petani dan nelayan yang tak mampu melunasi utang mereka.

  • Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyebutkan total utang yang akan diputihkan sebanyak Rp 8,3 triliun atau sekitar Rp 1,3 juta per orang.

  • Petani mengingatkan jangan sampai terjadi penipuan atau fraud dalam implementasi program ini.

KABAR pemerintah akan menghapus utang macet petani dan nelayan sampai juga ke Desan Banyuputih Kidul di Kecamatan Randuagung, Lumajang, Jawa Timur. Silo, petani tebu berusia 53 tahun, gembira menyambut kabar itu. Ia masih punya tunggakan di sebuah bank pemerintah. Silo tak mampu mencicil utang karena pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Saya mengambil kredit Rp 175 juta untuk jangka waktu pelunasan tiga tahun," ujar Silo pada Kamis siang, 31 Oktober 2024. Namun, hingga tenggat pelunasan berakhir, dia tidak sanggup melunasi pinjaman tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Silo berharap pemutihan utang bagi petani dan nelayan bisa segera direalisasi. Menurut dia, sebagian besar petani tebu di desanya menjalankan usaha dengan berutang. Dari 100 petani, mungkin hanya lima orang yang tidak berutang.

Presiden Prabowo Subianto berniat menghapus kredit macet petani dan nelayan yang tak mampu melunasi utang mereka. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengatakan pemerintah bakal memutihkan kredit macet hingga 6 juta petani dan nelayan.

Menurut adik Prabowo itu, banyak petani dan nelayan yang masih terbebani utang lama yang berakar dari krisis moneter pada 1998. Data kredit macet tersebut tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan di Otoritas Jasa Keuangan. Imbasnya, ketika para petani dan nelayan berusaha kembali mengajukan kredit, permintaan mereka langsung ditolak. Sebab, mereka masih tercatat memiliki utang kredit macet.

Dengan penghapusan tersebut, Hashim berharap petani dan nelayan yang terhambat kredit macet dapat kembali mengakses pinjaman dari bank. Ia menyatakan regulasi tentang pemutihan utang ini bakal berbentuk peraturan presiden dan segera diteken dalam waktu dekat.

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyatakan akan ikut serta dalam kebijakan penghapusan utang para petani yang masuk skema kredit usaha tani pada 1998. Ia menyebutkan total utang yang akan diputihkan sebanyak Rp 8,3 triliun untuk 6 juta petani di Indonesia. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika itu memperkirakan petani memiliki kredit sekitar Rp 1,3 juta per orang.

"Utang tersebut sudah terlampau lama dan memberatkan karena bisa menghalangi mereka untuk mendapat kredit dari bank," ujar Budi di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis, 31 Oktober 2024. Ia menilai pemutihan utang akan menjadi salah satu cara pemerintah mengembalikan kepercayaan perbankan kepada petani untuk menyalurkan pinjaman modal.

Kementerian Koperasi juga sedang menyiapkan surat yang akan dikirim kepada Prabowo tentang skema penghapusan utang petani dan nelayan. Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengusulkan, setelah utang tersebut diputihkan, para petani dan nelayan yang ingin mengajukan kredit melakukannya melalui koperasi.

Dengan demikian, tutur Ferry, pembiayaan atau kredit tidak lagi diberikan kepada individu secara langsung, melainkan lewat koperasi. Hal ini bertujuan mencegah masalah kredit macet terulang. Apabila pinjaman diberikan melalui koperasi, akan ada sistem pengawasan antaranggota.

Adapun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan keinginan Prabowo menghapus kredit macet petani dan nelayan masih akan dibahas bersama kementerian serta lembaga terkait. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga menyebutkan perlu ada peninjauan data dan analisis lebih lanjut perihal utang yang hendak dihapus itu.

Dian menyatakan pemerintah tengah menyusun kebijakan hapus tagih dalam rancangan peraturan pemerintah. Rencananya, regulasi tersebut berlaku untuk badan usaha milik negara berbentuk bank dan lembaga jasa keuangan nonbank.

Menurut Dian, tidak semua kredit yang telah dihapus buku bank akan dihapus tagih. Kredit yang dihapus tagih merupakan kredit yang telah dihapusbukukan dari neraca laporan posisi keuangan bank dan telah dibentuk cadangan kerugian penurunan nilai 100 persen sehingga sudah dibiayakan sebelumnya.

Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Sadar Subagyo menyambut positif rencana pemutihan utang petani dan nelayan. Dia berharap program ini dapat segera dilaksanakan untuk memberikan kemudahan pinjaman kepada setiap kelompok yang ingin mengusahakan produksi pangan.

Sadar tak menampik adanya potensi moral hazard atau penyimpangan moral dalam program pemutihan kredit ini jika penerima manfaatnya tidak tepat sasaran. Karena itu, politikus Partai Gerindra tersebut mendukung pemberian kredit kepada petani dan nelayan ke depan dilakukan melalui sebuah kelompok seperti koperasi. "Pemberian kredit ke depan harus kepada yang berkelompok agar ada yang saling mengawasi," katanya.

Adapun petani asal Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Suganda, meminta pemerintah berhati-hati menerapkan kebijakan tersebut. Ia berharap pemerintah bisa melakukan verifikasi yang tertib agar penghapusan kredit macet betul-betul diterima petani yang berhak mendapatkannya.

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Beba, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, 27 Oktober 2024. ANTARA/Andri Saputra

Potensi Kecurangan dalam Pemutihan Utang Petani dan Nelayan

Hal senada diungkapkan Lutfi Mugni, 33 tahun. Salah satu ketua kelompok tani muda di Desa Wiyong, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, itu mengingatkan jangan sampai terjadi kecurangan atau fraud dalam implementasi program ini. "Terkadang yang mendapat kredit dari bank bukan petani beneran. Mereka meminjam nama saudaranya yang bekerja sebagai petani," tuturnya.

Ekonom Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, berpandangan bahwa ada risiko fraud atau penyalahgunaan pemutihan kredit macet petani dan nelayan. Misalnya, pihak-pihak tertentu bisa memanfaatkan kebijakan ini untuk mengajukan kredit dengan niat tidak membayar sejak awal. Selain itu, bisa terjadi pengajuan klaim kredit macet palsu atau manipulasi data agar suatu utang layak diputihkan.

"Ada risiko beban fiskal yang akan ditanggung pemerintah dari kebijakan penghapusan kredit macet petani dan nelayan," ucap Yusuf. Ada juga potensi moral hazard jika petani dan nelayan tidak bertanggung jawab karena menganggap utang dapat diputihkan lagi di masa depan. Hal ini bisa membuat petani dan nelayan tidak termotivasi membayar pinjaman yang mereka ambil.

Menurut Yusuf, penghapusan hak tagih ini pun bisa membuat perbankan mengalami kerugian finansial akibat penghapusan piutang dan peningkatan risiko kredit. Imbasnya, akses keuangan bagi sektor pertanian dan perikanan bisa dibatasi.

Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia, Khudori, menekankan pentingnya verifikasi sederhana terhadap kasus-kasus kredit macet agar kebijakan pemutihan tepat sasaran. Contohnya, kredit yang macet akibat faktor luar biasa (force majeure), seperti bencana alam yang menyebabkan gagal panen atau kematian ternak. Verifikasi ini dapat dilakukan aparat kabupaten atau kota setempat dengan memastikan bahwa kredit macet disebabkan oleh hal-hal yang memang tidak bisa dihindari.

Namun, jika kredit macet terjadi karena kelalaian atau keperluan pribadi, Khudori menyarankan pemutihan kredit tidak diberikan agar tak memunculkan moral hazard atau kebiasaan buruk. Ia juga berharap pemerintah memastikan para petani dan nelayan dapat memperoleh modal kembali dari lembaga keuangan dengan jaminan asuransi setelah pemutihan kredit macet. Asuransi ini penting agar, ketika terjadi bencana, gagal panen, atau keadaan tak terduga lain, mereka tetap terlindungi dan tidak terjerat utang lagi karena kehilangan pendapatan.

Beberapa bank nasional telah melakukan persiapan ihwal kebijakan pemutihan utang petani dan nelayan. Sekretaris PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Okki Rushartomo mengatakan penghapusan tagihan pinjaman usaha mikro, kecil, dan menengah petani serta nelayan memang memungkinkan mereka mendapatkan kembali sumber pendanaan dari bank. Terutama bagi debitor UMKM yang jatuh ke non-performing loan (NPL) karena force majeure atau terkena dampak Covid-19.

Okki menyatakan BNI sudah mengantisipasi dampak kebijakan ini dengan membentuk pencadangan kerugian penurunan nilai atau CKPN. "Kebijakan BNI dalam hapus buku dan hapus tagih harus melalui evaluasi mendalam agar tidak terjadi moral hazard," ujarnya.

CKPN merupakan penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal. CKPN biasanya dibuat untuk menghindari potensi kegagalan bisnis yang dapat dialami bank apabila debitor benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk membayar.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso mengatakan program ini sudah lama ditunggu-tunggu. Selama ini BRI belum bisa melaksanakan penghapusan kredit macet petani dan nelayan karena bisa masuk kategori kerugian negara.

Sunarso menuturkan BRI masih menunggu kriteria dari calon penerima program ini agar tak menimbulkan moral hazard. BRI juga telah mengkalkulasi kinerja keuangan untuk menjalankan program ini dengan memasukkan perencanaan di tahun depan. Menurut dia, pemutihan ini juga bagian dari upaya pemerintah memberikan akses pembiayaan bagi para nelayan, petani, dan UMKM.

Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menuturkan penerima kredit usaha tani (KUT) adalah koperasi unit desa (KUD) yang menyalurkan pinjaman kepada petani yang menjadi anggotanya. Namun ditemukan beberapa penyimpangan yang dilakukan KUD, termasuk tidak membayar cicilan pokok hingga Rp 6 triliun. Ketika terjadi kemacetan massal, banyak KUD yang masuk daftar hitam perbankan sehingga tidak bisa memperoleh kredit baru ataupun kredit program yang bersubsidi.

Awalil menilai petani yang terjebak kredit macet dari program KUT memang sebaiknya mendapat pemutihan. Pasalnya, dana KUT berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia, yang sebenarnya dicatat sebagai utang pemerintah, sementara bank hanya bertindak sebagai penyalur dana.

Artinya, dana yang disalurkan bukan dana bank. Kalaupun dalam pelaksanaannya bank menggunakan dana mereka, menurut Awalil, Bank Indonesia tetap bertanggung jawab atas penggantinya. "Sehingga perbankan secara prinsip tidak dirugikan oleh penghapusan hak tagih ini. Mereka hanya penyalur dana," tuturnya. 

Di luar kredit macet dalam skema KUT, ekonom Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menyarankan pemutihan hak tagih perbankan tetap diiringi dengan cadangan kerugian nilai. Cadangan ini berfungsi sebagai penyangga agar kerugian akibat kredit macet tidak langsung menurunkan kinerja atau profitabilitas bank.

Pengamat perbankan Arianto Muditomo menilai rencana penghapusan kredit macet ini dapat membantu menekan NPL, khususnya pada kredit lama yang sulit tertagih. Dalam jangka pendek, bank akan mencatatkan kerugian akibat penghapusan kredit. Namun adanya penghapusan ini bisa memperbaiki kesehatan portofolio kredit bank. Dengan demikian, bank pun akan dimudahkan dalam menyalurkan kredit baru yang berpotensi menghasilkan pendapatan yang lebih stabil.

Karena itu, Arianto menilai OJK harus betul-betul selektif dalam menentukan kriteria debitor yang berhak atas fasilitas penghapusan ini. "Jangan sampai program semacam ini justru menginspirasi debitor untuk melarikan diri dari kewajiban mengembalikan pinjaman," ujarnya.

Arianto juga menyarankan pemerintah meningkatkan literasi keuangan bagi petani dan nelayan. Pasalnya, kredit macet di sektor pertanian dan perikanan biasanya tak hanya dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas serta kondisi alam, tapi juga keterbatasan literasi keuangan dan dukungan teknologi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

David Priyasidharta dari Lumajang, Ivansyah dari Cirebon, dan Hammam Izuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus