Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Polemik Bahlil Lahadalia Cabut Ribuan IUP: Jejak Sejarah Izin Usaha Pertambangan di Indonesia

Menteri Bahlil Lahadalia ramai dibicarakan karena diduga tebang pilih mencabut Izin Usaha Pertambangan atau IUP. Apa itu IUP dan bagaimana sejarahnya?

8 Maret 2024 | 16.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah mencabut lebih dari 2.000 izin pertambangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Bahlil Lahadalia diduga terlibat dalam politisasi Izin Usaha Pertambangan disingkat IUP. Sebagai menteri investasi, Bahlil memang memiliki kewenangan penuh untuk mencabut izin-izin usaha yang tidak produktif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan pencabutan izin usaha yang tak produktif itu disebut untuk memperlancar investasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri investasi sekaligus Ketua Satuan Tugas Penataan Lahan dan Penataan Investasi ini telah mencabut 2.078 izin pertambangan di berbagai daerah, sebagaimana dilaporkan dalam Majalah Tempo edisi Minggu, 3 Maret 2024. Isu kisruh mengenai keterlibatan Bahlil dalam izin tambang pun mencuat karena dinilai tebang pilih dan tidak memiliki kriteria yang jelas. 

Menilik Izin Usaha Pertambangan

Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin usaha untuk melakukan pertambangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peraturan mengenai perizinan pertambangan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang  yang telah dimulai sejak masa kolonial. 

Dilansir dari laman walhi.or.id, memasuki tahun 1960 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pertambangan untuk pertama kalinya yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan. 

Dengan adanya Undang- Undang ini, pemerintah memberikan peluang yang besar kepada perusahaan-perusahaan negara, sekaligus perusahaan swasta yang dimiliki oleh orang yang berkebangsaan Indonesia untuk melakukan eksplorasi bahan tambang. 

Namun pada masa orde baru, pemerintah saat itu justru membuat kebijakan yang bertujuan menarik pihak asing untuk berinvestasi dengan tujuan untuk mempercepat perbaikan ekonomi dan pembangunan. 

Pemerintah Orde baru mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967. UU PMA disebut menjadi titik awal masuknya investasi asing di Indonesia. Dimana dalam kurun waktu antara tahun 1967-1972 tercatat ada 16 perusahaan pertambangan luar negeri yang melakukan Kontrak Karya. 

Setelah memasuki masa reformasi, pemerintah mengesahkan UU No 32. tahun 20024 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian mengatur beberapa kewenangan perihal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya yang berada di wilayah pemerintahan daerah.

Selain disahkannya UU yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 (menghapuskan UU No.11 Tahun 1967), yang kemudian disebut dengan UU Minerba. 

UU Minerba menjadi pedoman baru dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara, dimana sistem yang digunakan adalah perizinan bukan kontrak seperti pada masa Orde baru. 

Dalam UU Minerba setidaknya terdapat beberapa bentuk perizinan yang diatur, diantaranya yakni: Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku untuk jenis badan usaha, koperasi dan perorangan. Kemudian ada Izin Pertambangan Rakyat (IUP) yang diberikan kepada penduduk setempat, baik perorangan, kelompok maupun koperasi, dengan luasan tertentu. Dan yang terakhir adalah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang berlaku untuk badan usaha sepertu BUMN, BUMD serta perusahaan swasta, dikutip dari walhi.or.id, Rabu, 6 Maret 2024.

Selanjutnya pemerintah mengesahkan UU No. 3 tahun 2023 yang merupakan perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009. Dilansir dari laman resmi bpk.go.id, perubahan UU tersebut sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu menambahkan beberapa ketentuan baru berupa: 

(1) Pengaturan terkait konsep Wilayah Hukum Pertambangan; 
(2) Kewenangan pengelolaan Mineral dan Batubara; 
(3) Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara; 
(4) Penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha untuk melakukan Penyelidikan dan Penelitian dalam rangka penyiapan WIUP; 
(5) Penguatan peran BUMN; 
(6) Pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan Mineral dan Batubara termasuk di dalamnya, konsep perizinan baru terkait pengusahaan batuan untuk jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu, serta perizinan untuk pertambangan rakyat; dan 
(7) Penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan usaha Pertambangan, termasuk pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang.

Mengenai perizinan, UU NO. 3 Tahun 2020 Pasal 35 Ayat (1) menyatakan bahwa pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan dari pemerintah pusat. Kemudian diatur pada Ayat (4) bahwa pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada pemerintah daerah provinsi.

IUP terdiri atas dua tahap yakni tahap eksplorasi dan tahap operasi yang termasuk di dalamnya adalah kegiatan penambangan, pengolahan, pemanfaatan, hingga pengangkutan dan penjualan. 

Sementara untuk pencabutan perizinan tercantum dalam Pasal 119 UU No.3 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa IUP atau IUPK dapat dicabut oleh menteri apabila pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemegang Izin Usaha Pertambangan melakukan tindak pidana dan jika pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus