Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah diminta mempercepat belanja ke sektor-sektor produktif.
Surplus anggaran mengindikasikan belanja pemerintah belum optimal.
Di sisi lain, adanya surplus membuka pengucuran insentif fiskal.
JAKARTA — Pemerintah diminta mempercepat belanja ke sektor-sektor produktif guna mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen hingga akhir 2023. Saat ini, belanja pemerintah yang seharusnya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya perekonomian global dianggap belum optimal. Hal itu tecermin dari adanya surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp 152,3 triliun pada semester I 2023.
"Kalau kita punya target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kita harus berupaya, salah satunya melalui akselerasi belanja. Jangan berbangga dengan adanya surplus," ujar Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, kepada awak media, kemarin.
Menurut Eko, uang negara yang diperoleh dari pajak dan penerimaan negara non-pajak semestinya tidak disimpan dan mengendap menjadi surplus di kantong pemerintah. Sebaliknya, pemerintah harus segera membelanjakan anggaran tersebut untuk menggerakkan perekonomian.
Eko mengingatkan, sepanjang semester I 2023, ekonomi global cenderung melambat. Namun perekonomian Indonesia masih kuat lantaran ditopang oleh konsumsi dan perekonomian di dalam negeri. Kendati demikian, ia mengatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen yang dicanangkan pemerintah pada tahun ini tergolong tinggi.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding proyeksi Bank Dunia yang termaktub dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2023. Lembaga keuangan tersebut memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,9 persen pada 2023. Proyeksi tersebut tak berbeda jauh dari perkiraan Indef yang menyebutkan perekonomian Indonesia akan tumbuh sekitar 4,8 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Target Tinggi Pertumbuhan Ekonomi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko berujar perkiraan Indef dibuat dengan mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain kondisi perekonomian dua mitra dagang utama Indonesia, yakni Amerika Serikat dan Cina, yang belum pulih betul pasca-pandemi lalu. Kondisi ekonomi tersebut berimbas pada melemahnya permintaan yang tecermin dari tren penurunan nilai ekspor Indonesia.
Bersamaan dengan turunnya permintaan global, harga komoditas utama ekspor Indonesia, seperti minyak, gas alam, batu bara, dan minyak sawit mentah, cenderung turun. Sementara itu, harga komoditas pangan naik. "Jadi, perlambatan ekonomi global harus diantisipasi dengan segala amunisi, termasuk fiskal. Jangan banggakan surplus. Pemerintah harus segera mengeksekusi belanja supaya sektor riil jalan," kata Eko.
Di samping menggenjot belanja, Eko meminta pemerintah dan Bank Indonesia mengupayakan peningkatan penyaluran kredit perbankan guna mendorong sektor riil. Pemerintah juga dinilai perlu menjaga daya beli serta memastikan penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Dengan upaya tersebut, ia berharap perekonomian Indonesia setidaknya bisa tumbuh melebihi 5 persen.
Surplus APBN Rp 152,3 Triliun
Pelayanan pajak di KPP Pratama Jakarta Matraman, Jakarta, S2 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Sebelumnya, Kementerian Keuangan melaporkan surplus APBN pada semester I 2023 sebesar Rp 152,3 triliun. Adapun keseimbangan primer (pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang) surplus Rp 368,2 triliun. Surplus tersebut terjadi lantaran pendapatan negara tercatat Rp 1.407,9 triliun atau 57,2 persen dari total target APBN. Sementara itu, belanja negara tercatat Rp 1.254,7 triliun atau 41 persen dari target dan tumbuh 0,9 persen secara tahunan.
Peneliti pusat ekonomi makro dan keuangan Indef, Riza Annisa Pujarama, mengatakan laporan pemerintah tersebut menunjukkan bahwa realisasi kemajuan belanja pemerintah masih lebih kecil dibanding realisasi pendapatan. Karena itu, wajar kalau akhirnya APBN mencetak surplus. Padahal, menurut Riza, belanja negara merupakan komponen penting dalam pembentukan produk domestik bruto.
"Jika realisasinya belum optimal, daya dukung terhadap pembentukan juga berkurang," tuturnya. "Ini dapat mempengaruhi capaian pertumbuhan."
Walaupun secara umum belanja pemerintah masih belum optimal, Riza menyoroti belanja pemerintah pusat yang realisasinya justru di bawah realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Realisasi belanja pemerintah pusat tercatat Rp 891,6 triliun dari target APBN Rp 2.246,5 triliun atau sekitar 39,7 persen. Sementara itu, TKDD realisasinya Rp 364,1 triliun dari target Rp 816,2 triliun atau 44,7 persen.
Berdasarkan fungsinya, Riza berujar realisasi belanja pemerintah pusat yang tercatat masih sangat rendah adalah di bidang pendidikan yang baru mencapai Rp 69,42 triliun atau 29,7 persen, turun dari realisasi tahun lalu yang sebesar 30,5 persen. "Padahal pendidikan ini sektor yang penting untuk mencapai visi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 untuk pembangunan sumber daya manusia," kata dia.
Sementara itu, berdasarkan jenisnya, belanja pemerintah pusat yang masih rendah adalah belanja modal yang baru 29,7 persen dan belanja subsidi yang masih 32,1 persen. Angka ini lebih rendah dibanding belanja pegawai, belanja bunga utang, dan belanja bantuan sosial yang mencapai 50 persen.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, sepakat bahwa surplus APBN yang terjadi hingga Juni 2023 mengindikasikan penyerapan belanja pemerintah pusat dan daerah belum optimal sekalipun penerimaan negara masih cukup kuat lantaran ditopang sektor komoditas. Ia mengatakan selama ini belanja pemerintah terkonsentrasi di tiga bulan terakhir di setiap tahun.
Siklus belanja seperti ini, menurut dia, dapat membuat stimulus fiskal menjadi kurang optimal dampaknya terhadap perekonomian. Josua menduga hal ini berkaitan dengan laju investasi yang mulai melambat. Karena itu, ia menyebutkan, pemerintah dalam jangka pendek perlu mendorong penyerapan belanja yang tepat sasaran untuk memaksimalkan dorongan fiskal terharap perekonomian.
"Ini juga berguna untuk menjaga momentum solidnya konsumsi masyarakat serta menjaga kepercayaan diri pelaku usaha," ujarnya.
Ruang bagi Insentif Fiskal
Aktifitas bongkar-muat batu bara di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Di samping berbagai kritik mengenai kurang optimalnya belanja pemerintah pada paruh pertama tahun ini, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai adanya surplus APBN dapat memberikan ruang yang lebih fleksibel kepada pemerintah untuk membelanjakan anggarannya sampai dengan akhir tahun nanti.
"Misalnya ingin memberikan insentif fiskal melalui pajak, pemerintah masih punya ruang untuk mengakomodasi hal tersebut, terutama bagi sektor atau lapangan usaha yang membutuhkan," ujarnya.
Soal belanja, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kementeriannya memperkirakan nilai belanja pemerintah untuk keseluruhan tahun bakal melebihi target yang dialokasikan. Belanja kementerian dan lembaga direncanakan mencapai Rp 1.085,5 triliun. Sedangkan belanja non-kementerian dan lembaga diperkirakan sebesar Rp 1.212 triliun serta transfer ke daerah diprediksi mencapai Rp 825,4 triliun; atau lebih tinggi dari APBN awal yang sebesar Rp 814,7 triliun.
CAESAR AKBAR | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo