Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah kampung di Kota Yogyakarta pada akhir Februari 2024 ini menggelar berbagai tradisi menyambut bulan Ramadan yang dimulai pada Maret mendatang. Salah satu tradisi yang digelar antara lain Ngapem Ruwahan seperti yang dilakukan Kampung Ratmakan, Ngupasan, Gondomanan pada Minggu, 25 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam acara ini, terdapat tiga buah gunungan berukuran besar. Dua gunungan berisikan apem, ketan, dan kolak, serta satu gunungan berisikan sayur hasil bumi. Tiga gunungan tersebut merupakan simbol rasa syukur serta saling memaafkan antar-sesama manusia dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ngapem Ruwahan ini menjadi satu peringatan awal masyarakat bahwa sebentar lagi memasuki bukan Ramadan, tradisi ini mengajak saling memaafkan dan persiapan mental sebelum ibadah puasa Ramadan," ujar Penjabat Wali Kota Yogya, Singgih Raharjo.
Kue apem dalam tradisi Ngapem Ruwahan itu merupakan salah satu kudapan yang sangat familier dijumpai di Kota Yogyakarta. Makanan ini sangat mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional.
Puteri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X memasak kue apem dalam tradisi Tingalan Jumenengan Dalem. (Dok. Keraton Yogyakarta)
Filosofi kue apem
Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta melansir, apem merupakan makanan tradisional yang memiliki cita rasa yang manis. Kata apem berasal dari bahasa Arab yaitu "afuum" atau "affuwun" yang memiliki arti "ampunan". Dalam tradisi Jawa, kue apem memiliki filosofi memohon ampunan kepada Sang Pencipta.
Kue apem sangat lekat dalam ritual upacara tradisional Jawa, kue ini biasa digunakan pada acara-acara syukuran, seperti upacara selama kehamilan, sunatan, pernikahan hingga upacara kematian.
Pembuatan apem
Tradisi membuat kue apem juga masih dilakukan di lingkungan Keraton Yogyakarta hingga kini, seperti setiap menyambut Tingalan Jumenengan Dalem atau peringatan hari kenaikan tahta Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Dalam peringatan itu, putri Sultan HB X akan melakukan prosesi Ngebluk dan Ngapem. Ngebluk merupakan upacara pembuatan jladren (adonan apem) yang akan dimasak saat prosesi Ngapem. Istilah Ngebluk berasal dari suara "bluk bluk" yang ditimbulkan saat adonan apem diaduk secara manual dengan tangan di dalam wadah.
Dalam upacara ini ada dua jenis adonan apem yang dibuat, yaitu apem mustaka (apem besar) dan apem alit (apem kecil).
Berpasang-pasangan, para Abdi Dalem Keraton secara serentak mencampur semua bahan hingga merata. Adonan yang sudah jadi lantas dimasukkan ke dalam dua enceh (tempayan). Enceh yang pertama berisi adonan untuk zpem
mustaka, sedangkan enceh kedua berisi adonan apem alit.
Adonan yang telah ditutup rapat ini lantas didiamkan selama satu malam agar terjadi proses peragian sehingga adonan dapat mengembang. Ada empat orang abdi dalem yang bertugas semalaman menjaga adonan dalam kedua enceh itu.
Adapun saat prosesi Ngapem, kelima putri Sultan mulai memasak adonan apem yang sudah disiapkan lewat prosesi Ngebluk. Apem-apem yang sudah matang kemudian disimpan di dalam lemari khusus.
Setelah berbagai prosesi digelar, apem alit atau yang berukuran kecil dibagikan kepada kerabat dan abdi dalem sebagai simbol permohonan maaf atau ampunan.
Sementara itu, apem mustaka yang dibuat diinapkan semalam di Bangsal Srimanganti Keraton dan keesokan harinya diberangkatkan untuk sesaji prosesi Labuhan ke tiga lokasi yakni Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Prosesi Labuhan ini menjadi puncak dari rangkaian peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Raja Keraton Yogyakarta.
PRIBADI WICAKSONO