Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Pendapatan industri pariwisata Gunung Bromo diperkirakan anjlok lebih dari 50 persen. Total pendapatan pelaku usaha wisata Bromo dalam dua tiga bulan biasanya mencapai lebih dari Rp 500 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas pariwisata di Gunung Bromo pada 2018 tercatat senilai Rp 560 miliar. Angka itu naik lagi menjadi Rp 596 miliar pada 2019. Pendapatan para pengusaha di sektor wisata Gunung Bromo langsung anjlok karena pandemi Covid-19 yang terjadi sejak pertengahan Maret 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara keseluruhan, kegiatan wisata Gunung Bromo tutup selama hampir setahun. Gara-gara kebakaran hutan pada akhir September 2019, disusul program pemulihan ekosistem kawasan taman nasional yang rutin berlangsung sepanjang Januari sampai Maret setiap tahun, lalu saat hendak buka, pandemi Covid-19 melanda.
"Kerugian yang dialami pelaku usaha pariwisata lebih besar karena pandemi Covid-19 dan bukan akibat kebakaran hutan dan program pemulihan ekosistem yang setiap tahun kami lakukan," kata Sarmin, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS, pada Jumat 28 Agustus 2020.
Lautan pasir di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS. TEMPO | Abdi Purmono
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, menurut Sarmin, tidak mengalami kerugian ekonomi yang besar karena tugas pokok dan fungsi TNBTS adalah konservasi dan pelestarian kawasan. Meski begitu, penutupan aktivitas wisata Gunung Bromo menurunkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP dari para wisatawan.
Tempo mencatat, pada 2019 Balai Besar TNBTS membukukan capaian PNBP sebesar Rp 22,86 miliar. Sedangkan tahun ini kemungkinan besar target Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP sebesar Rp 16 miliar gagal dicapai.
Sarmin menjelaskan yang merasakan kerugian terbesar adalah pelaku usaha wisata Bromo di Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang. Dari tiga kabupaten itu, tercatat sekitar 1.500 usaha operator jip, 478 orang yang mengelola usaha wisata menunggang kuda, pedagang asongan, serta pengelola hotel serta restoran.
Destinasi wisata padang rumput atau sabana Teletubbies di Kabupaten Probolinggo yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS. TEMPO | Abdi Purmono
Seorang tokoh masyarakat Suku Tengger yang juga Ketua Forum Komunikasi Pelaku Usaha Ekowisata Gunung Bromo, Supoyo mengtaakan, secara umum Suku Tengger tidak terlalu terpengaruh akan penurunan pendapatan di sektor pariwisata Bromo. Sebab, Suku Tengger di Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupatan Malang tidak terlibat langsung dalam usaha wisata Bromo.
Suku Tengger, menurut Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Probolinggo itu, tidak menjadikan kegiatan wisata sebagai andalan utama dalam menafkahi hidup. "Mereka sebenarnya menghidupi diri dan keluarga dengan bertani," katanya. Hasil tani masyarakat Suku Tengger antara lain kubis, wortel, kentang, tembakau, dan jagung.
Kendati tidak terlalu terimbas sepinya aktivitas wisata Bromo, Supoyo mengatakan masyarakat Suku Tengger menyambut gembira pembukaan kembali kegiatan wisata Bromo untuk memulihkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Satu syaratnya, semua pemangku kepentingan wisata Bromo wajib mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
"Jangan sampai karena ketidakpatuhan kita mengakibatkan munculnya klaster baru penularan Covid-19," kata Supoyo. "Kami, semua sesepuh Tengger, sepakat dan mendukung TNBTS supaya kegiatan wisata ditutup lagi jika muncul klaster baru Covid-19 di sini."