Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kendari - Dua foto Muhammad Yusuf Kardawi tergantung di ruang tamu rumahnya yang ada di Desa Lasehao, Kabupaten Muna Kendari. Yusuf adalah mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari yang tewas saat mengikuti aksi demonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang bermasalah termasuk revisi UU KPK pada 26 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Endang Yulida, Ibunda Yusuf, mengatakan hingga saat ini dadanya masih sering sesak karena tiba-tiba teringat kematian buah hatinya. Ia juga gelisah karena pelaku yang membunuh anaknya tak pernah tertangkap. “Seperti ada batu besar mengganjal. Waktu saya terima telepon soal Yusuf, saya jatuh, saya bilang dalam hati, Yusuf meninggal,” kata Endang saat ditemui Tempo di rumahnya pada awal Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusuf anak pertama dari lima bersaudara. Jarak antara dia dengan anak kedua dan ketiga adalah 5 tahun. Kemudian, adiknya yang keempat masih duduk di bangku SMP dan yang terakhir di kelas 2 sekolah dasar.
Ramlan, ayah Yusuf, meski terlihat tegar juga masih menyimpan kemarahan terhadap pelaku yang menewaskan anaknya. “Saya Ikhlas ini takdir kematian pasti akan terjadi pada siapapun, yang sekarang saya tuntut ungkap dan hukum seberat-beratnya pelaku yang menewaskan Yusuf,” kata Ramlan.
Endang Yulida & Ramlan menunjukkan foto Muhammad Yusuf Kardawi (19), di Desa Lasehao Kec. Kabawo Kab. Muna. Mereka mengenang dua tahun kematian putra mereka yang tewas dalam aksi #ReformasiDikorupsi 2019 silam, dan pelaku yang belum terungkap. Foto : Rosniawanti/Tempo
Jalan juang untuk menuntut keadilan bagi putra sulungnya itu tidak pernah surut meski peristiwa tragis itu sudah dua tahun berlalu. “Ini sudah tiga Kapolda Sultra berganti, dan setiap ada pergantian saya pasti selalu meminta ke Kapolda bagaimana kasus anak saya, saya bilang kasusnya harus tuntas karena ini bukan hanya tanggung jawab polisi pada keluarga tapi pada masyarakat secara keseluruhan yang menuntut keadilan,” ujar Ramlan.
Desember 2021, menandai dua tahun lebih kasus dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Imawan Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi yang tewas dalam gelombang aksi demonstrasi.
Kala itu, kedua mahasiswa ini berunjuk rasa menolak sejumlah RUU bermasalah dan pelemahan KPK di Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Randi tewas setelah peluru tajam merobek dadanya. Sedangkan Yusuf tewas karena pendarahan akibat retak kepala. Yusuf sempat dilarikan ke RSUD Bahteramas Kendari, namun Jumat 27 September 2021 jelang subuh nyawanya tak tertolong.
Kasus Himawan Randi telah tuntas. Pelakunya sudah terungkap. Satu polisi yakni, Brigadir Abdul Malik terbukti menembak Randi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap Abdul Malik di medio Desember 2020. Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Adapun kasus Yusuf, saat ini masih gelap. Dua tahun berlalu polisi belum bisa mengungkap siapa dalang di balik kematian mahasiswa D3 Teknik Sipil Vokasi Universitas Halu Oleo itu.
Kasubdit II Reserse Kriminal Umum (Krimum) Kepolisian Daerah (Polda) Sultra, Komisaris Kasman mengatakan pengungkapan kasus Yusuf Kardawi ini masih terus berjalan. Di Polda Sultra kasus Yusuf ini masuk kategori atensi khusus dan menonjol. Kasman juga mengatakan jika perkara Yusuf ini merupakan kasus terlama yang ditangani Polda Sultra.
Kasman mengatakan menemui sejumlah kesulitan untuk mengungkap perkara ini secara terang benderang. Terutama untuk mengungkap siapa dalang dibalik tewasnya Yusuf. Tak adanya saksi kunci, alat bukti yang minim, serta tiadanya autopsi ini yang menjadi kendala utama pengungkapan kasus ini. Sehingga ia meminta bagi mahasiswa atau siapapun yang mengetahui dan memiliki bukti baru agar tak sungkan melapor ke polisi.
Memang, ada sejumlah barang bukti seperti batu, CCTV, dan proyektil yang ditemukan di lokasi tubuh Yusuf ditemukan tergeletak, namun lagi-lagi Kasman menegaskan hal itu belum sama sekali memberikan petunjuk siapa pelaku yang menewaskan Yusuf.
“Faktanya memang di TKP ada sebongkah batu dan ada bercak darahnya kita sita dan kirim ke laboratorium forensic untuk diperiksa dan hasilnya darah yang ada di batu identik dengan darah almarhum. Tapi batu ini belum bisa menjelaskan siapa pelakunya apakah polisi, massa atau pihak lain,” kata Kasman.
Dia menambahkan sampai harus 8 kali melakukan olah TKP demi mendapatkan bukti dan keterangan yang detail.
Kasman menepis tudingan jika polisi tidak serius menangani kasus ini atau ada upaya untuk mengulur waktu pengungkapan. Ia mengambil contoh kasus Randi. Polisi berhasil mengungkap dan mengadili pelaku. Hal itu menandakan bahwa polisi memang serius menangani setiap tindak pidana yang dilakukan entah itu oleh warga pun anggota polisi
“Untuk apa mengulur waktu kalau sudah ada petunjuk lebih bagus kalau cepat. Saya pribadi ini kebanggaan kalau bisa menuntaskan kasus. Penyidik itu kebangganya mengungkap kasus. Kami berusaha maksimal tapi kalau memang belum jelas yah tidak bisa dipaksakan,” kata Kasman.
Tewasnya Imawan Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi pada 26 September 2019 silam bagi warga Sultra dikenang sebagai peristiwa September berdarah atau “Sedarah”. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil saat itu merupakan unjuk rasa terbesar yang pernah terjadi di Kendari maupun Sulawesi Tenggara.
Tison, mahasiswa D3 Teknik Sipil Vokasi Universitas Halu Oleo mengatakan sering berunjuk rasa mendorong polisi segera menuntaskan kematian Yusuf. Menjelang peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap 10 Desember, Tison mengaku bersama mahasiswa akan kembali turun berdemo.
Tison mengatakan aksi unjuk rasa soal dan konsolidasi perkara Randi dan Yusuf Kardawi akan terus dilakukan. Ia terus mengkonsolidasikan gerakan aksi untuk Yusuf pada mahasiswa-mahasiswa baru di fakultasnya. “Ini bagian dari merawat ingatan publik soal peristiwa September 2019 lalu. Juga mengingatkan publik bagaimana kebrutalan aparat kepolisian saat aksi itu,” kata Tison.