Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kata Sumarsih soal Rencana Penyematan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

Sumarsih merespons soal rencana penyematan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

29 September 2024 | 06.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Maria Catarina Sumarsih, salah satu pelopor Aksi Kamisan, angkat bicara soal rencana pimpinan MPR yang ingin menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto. Dia mendesak pemerintah untuk membatalkan wacana itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto harus ditolak," kata Sumarsih dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo melalui aplikasi WhatsApp pada Sabtu, 28 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sumarsih menjadi salah satu tokoh kunci dalam Aksi Kamisan. Aksi itu diikuti korban pelanggaran HAM dan aktivis kemanusiaan di seberang Istana Merdeka setiap Kamis. Aksi tersebut telah berlangsung sejak 18 Januari 2007.

Sumarsih mengungkit kembali perjuangan mahasiswa menggulingkan Soeharto pada tahun 1998 demi tercapainya cita-cita Reformasi. Dia mengingatkan kembali soal sikap Soeharto yang bertangan besi saat menghadapi demonstran. 

"Sebelum Soeharto turun dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998 terjadi penculikan aktivis pro-demokrasi, penembakan mahasiswa Trisakti dan kekerasan politik pada 13-15 Mei 1998," ujarnya. 

Pada masa itu, TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disetujui dalam Sidang Istimewa MPR RI pada Jumat, 13 November 1998, bertepatan dengan penembakan tiga mahasiswa di sekitar Universitas Atma Jaya Jakarta saat berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR RI.

Salah satu alasan Sidang Istimewa MPR RI ditolak karena disinyalir akan dijadikan ajang konsolidasi kroni-kroni Soeharto. "Tiga mahasiswa itu ditembak dengan peluru tajam standard militer. Mereka adalah anak saya Wawan, nama lengkapnya Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atmaja; Tedy Mardani, mahasiswa ITI; dan Sigit Prasetyo, mahasiswa YAI," ucapnya. 

Lebih lanjut, Sumarsih menilai upaya penyematan pahlawan nasional kepada Soeharto yang dilakukan oleh kroni-kroninya bertentangan dengan agenda Reformasi. Padahal, kata dia, salah satu agenda Reformasi ialah mengadili Soeharto beserta kroni-kroninya. 

"Soeharto pernah diadili di meja pengadilan tetapi dihentikan dengan alasan Soeharto menderita sakit permanen. Hal ini menunjukkan bahwa Soeharto sebagai Presiden telah melakukan tindak kejahatan," tuturnya. 

Selanjutnya, kritik Sumarsih berikan kepada Presiden Joko Widodo. Menurut dia, Jokowi menjadi sosok yang melindungi kroni-kroni Soeharto yang ingin membangkitkan kembali Orde Baru. Dia menuding Jokowi melindungi pelanggar HAM berat dan tertular sifat Orba. 

"Presiden Jokowi melakukan kolusi dan nepotisme untuk menggolkan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto dan menjadi pemenang pemilu," kata Sumarsih. 

Tak sampai di situ, Sumarsih juga melemparkan kritik kepada Prabowo. "Prabowo adalah mantan menantu Soeharto, pernah menikmati kehidupan dalam keluarga besar Cendana," ujarnya. 

Sumarsih juga menyinggung soal posisi ketua Partai Golkar yang dijabat oleh Soeharto dari periode ke periode. Dia tak ingin upaya pemberian gelar pahlawan nasional itu mengarah pada pemutarbalikan fakta mengingat Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet juga berasal dari Partai Golkar. 

"Sebagai warga negara, saya berharap agar MPR RI sebagai lembaga tinggi negara jangan diarahkan menjadi lembaga impunitas," tuturnya. 

Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga mengkritik wacana itu sebagai upaya untuk menguntungkan kelompok tertentu. 

"Langkah itu sangat politis yang oportunistik. Hanya berbasis pada kepentingan segolongan kelompok orang saja," kata Usman dalam pesan tertulisnya saat dihubungi Tempo melalui aplikasi WhatsApp pada Sabtu, 28 September 2024.

Usman menilai jika langkah itu diambil maka berpotensi mengkhianati semangat Reformasi. Padahal, kata Usman, gerakan 1998 itu telah menenggakkan kebebasan politik dan keadilan sosial yang tertuang dalam seperangkat nilai hak asasi manusia (HAM) lewat konstitusi.

"Itu juga melecehkan hak-hak para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang belum memperoleh keadilan dan hingga kini masih terus menutut keadilan," ujarnya. 

Sebelumnya, pimpinan MPR menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM tertanggal 13 September 2024, perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP Nomor XXXIII/ MPRS/1967.

Berdasarkan kesepakatan pada Rapat Pimpinan MPR pada 23 Agustus 2024, pimpinan MPR menegaskan, sesuai pasal 6 TAP Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Seluruh TAP MPRS dan TAP MPR mulai 1960 sampai 2002, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS /1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan tuduhan pengkhianatan terhadap Soekarno atau Bung Karno telah digugurkan demi hukum oleh Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012 tentang Gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 25 huruf e UU Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan,” ujarnya.

Ia mengatakan, MPR adalah penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa.

“Karenanya, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, termasuk gelar Pahlawan Nasional," tuturnya.

Bamsoet berpesan, jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil. Menurut dia, tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu.

"MPR adalah aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya dalam kerangka itu, MPR merajut persatuan bangsa. Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni," kata Bamsoet.

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus