Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong adanya Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya telah beberapa kali berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah kementerian terkait hal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi itu difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Meski bukan pembentuk undang-undang, Komnas mendorong pemerintah segera membahas RUU KKR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Komnas tentu saja, meskipun bukan bagian dari lawmaker, kami memberikan masukan kepada pemerintah untuk menyegerakan UU KKR," kata Taufan dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 6 April 2021.
Menurut Taufan, UU KKR diperlukan bukan saja karena sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang sampai sekarang belum selesai. Dia mengatakan UU KKR pun berkaitan dengan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang memuat pasal tentang rekonsiliasi.
"Bahkan di Aceh, berdasarkan qanun telah dibentuk KKR tapi UU-nya kita tidak punya," ujar Taufan.
Pemerintah membahas draf RUU KKR sejak tahun lalu. RUU KKR tersebut merupakan salah satu RUU Kumulatif Terbuka. Pada Maret 2020, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan, draf RUU KKR masih terus diperbaiki sekaligus mendalami informasi yang berkembang dari sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat sipil.
Menurut Mualimin, pemerintah merancang RUU KKR untuk mengedepankan masalah pemulihan korban pelanggaran HAM yang sudah ditangani Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Draf dibahas di rapat pimpinan tingkat menteri. Setelah rampung, Kemenkopolhukam akan menyampaikan permohonan izin prakarsa dan kumulatif terbuka kepada presiden. Presiden akan mengeluarkan Surpres atau surat presiden RUU KKR ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Keberadaan KKR sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004. Namun UU itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena dinilai tidak memberikan kepastian hukum.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | FRISKI RIANA