Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan pemulihan kepada keluarga korban mutilasi oleh anggota TNI dan pelaku sipil di Mimika, Papua, 22 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan negara, dalam hal ini LPSK, semestinya memberikan bantuan psikologis dan bahkan perlindungan kepada keluarga korban kekerasan oleh aparat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami mendorong LPSK RI untuk memberikan pemulihan bagi kepentingan keluarga korban sesuai mekanisme yang ditentukan UU Perlindungan Saksi dan Korban,” kata Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar di kantor Kontras, Jakarta, Jumat, 23 September 2022.
Sementara itu, pendamping keluarga korban Michael Himan mengatakan ia berharap negara melalui LPSK memberikan bantuan terhadap keluarga korban, setidaknya dalam bentuk pemulihan psikis dan mental. Namun sejauh ini, ia mengatakan keluarga korban belum dihubungi oleh LPSK.
“Kami belum dihubungi LPSK. Seharusnya memang tanpa permohonan, LPSK harus proaktif melindungi korban kekerasan,” katanya.
Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan ia sudah meminta Biro Penelaahan Permohonan untuk proaktif menangani kasus tersebut. Ia mengatakan LPSK sebetulnya sudah menjadwalkan pertemuan dengan keluarga korban namun tertunda karena ada agenda lain.
“Minggu lalu Biro Penelaahan LPSK sebenarnya sudah dijadwal keluarga korban dan pendamping akan ke LPSK. Tetapi karena ada acara lain mereka tunda dulu,” kata Hasto saat dihubungi Tempo, 24 September 2022.
Belum dapat kontak keluarga korban
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan LPSK sudah berupaya menjangkau keluarga korban tetapi belum menerima kontaknya. “Kami sudah mencari kontak keluarga korban tetapi belum diberikan,” katanya.
Selanjutnya: kejadian dipicu jual beli senjata...
Empat korban dibunuh dan dimutilasi di salah satu lahan kosong di di Jalan Nawaripi Baru, Mimika, Papua, setelah transaksi jual beli senjata antara pelaku dan korban gagal. Kedua pihak terlibat baku pukul setelah korban mengetahui senjata rakitan yang diterima palsu. Padahal, korban telah menyerahkan uang Rp250 juta di lokasi itu juga.
Transaksi gagal itu berujung maut. Empat korban dibunuh dengan cara ditebas parang dan ditembak. Untuk menutupi kejahatannya, tersangka memutilasi korban dan membuangnya ke sungai. Setelahnya, mobil yang ditumpangi korban dibakar.
Rivanlee mengatakan tuduhan aparat yang mengatakan empat korban terlibat gerakan separatis tidak terbukti. Korban AL misalnya, merupakan pengurus gereja yang juga ditunjuk sebagai panitia pembangunan gereja. Kemudian korban AL adalah pejabat aktif kepala desa Kampung Yunat sekaligus pengurus gereja di Kenyam, Nduga. Korban LN bekerja sebagai pengemudi perahu untuk antarjemput dari dan menuju Nduga-Jita-Timika.
“Sedangkan AT merupakan seorang anak yang sering membantu pamannya bertani dengan bercocok tanam,” kata Rivanlee.
Enam anggota TNI Angkatan Darat yang menjadi tersangka di kasus ini adalah Mayor Infanteri HFD; Kapten DK; Praka PR; Pratu RAS; Pratu RPC dan Pratu ROM. Adapun tersangka sipil yakni APL alias J, DU, R, dan RMH. Salah satu tersangka mutilasi bernama Roy atau R saat ini masih buron.
Baca: Satu Korban Mutilasi oleh Anggota TNI di Papua Ternyata Masih Anak di bawah Umur
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.