Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARA-GARA dokumen rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), Amir Syahbana saat ini menjadi terdakwa korupsi tata niaga timah PT Timah Tbk di Bangka Belitung periode 2015-2022. Proses perkaranya sedang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Tuduhannya, Amir meneken RKAB untuk perusahaan swasta pemilik smelter saat menjabat pelaksana tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepulauan Bangka Belitung pada 30 Juni 2020-9 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria 50 tahun itu diduga menyetujui RKAB untuk lima perusahaan, yakni PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa. Kelima perusahaan itu juga terseret kasus korupsi timah yang sedang ditangani tim Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga kini Kejaksaan Agung sudah menjerat 23 orang, baik yang berstatus terdakwa maupun tersangka, dalam kasus korupsi ini. Mereka adalah pengusaha hingga mantan anggota direksi PT Timah. Sama seperti Amir, sebagian besar pihak sedang menjalani persidangan. Nilai kerugian negara dan kerusakan lingkungan akibat korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.
Namun pengacara Amir, Muhammad Zainul Arifin, beralasan keputusan itu tak diambil kliennya sendiri. Saat diperiksa jaksa penyidik, Amir mengaku mendapat perintah lisan dari Gubernur Bangka Belitung saat itu, Erzaldi Rosman Djohan. Erzaldi meminta Amir menerbitkan persetujuan RKAB lima perusahaan itu. Hal itu dilakukan agar perusahaan tersebut bisa menjual atau mengekspor stok timah dari 2018 dan 2019 yang sebelumnya tidak bisa dijual. “Berdasarkan itu, klien saya memberikan persetujuan RKAB setelah mendapat arahan Gubernur,” ujar Zainul di kantornya di Tangerang, Banten, Senin, 26 Agustus 2024.
Dalam dakwaan jaksa penuntut, Amir dianggap bersalah karena RKAB yang disetujuinya digunakan sebagai legalitas untuk mengambil dan mengolah bijih timah hasil tambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Seharusnya RKAB itu menjadi dasar untuk menambang di wilayah IUP tiap perusahaan smelter dan afiliasinya.
Selain itu, Amir disebut menerima duit senilai Rp 325 juta dari Achmad Albani, Manajer Operasional Tambang CV Venus Inti Perkasa, untuk mengurus persetujuan RKAB. Tuduhan ini lagi-lagi dibantah. “Pak Amir seharusnya tidak kena pasal tipikor, tapi hanya administrasi,” ucap Zainul.
Nama Gubernur Bangka Belitung 2017-2022, Erzaldi Rosman Djohan, juga muncul dalam pemeriksaan saksi. Salah satunya saat pemeriksaan Ahmad Syamhadi, General Manager Produksi PT Timah Wilayah Bangka Belitung periode 2016-2020. Kepada penyidik, Ahmad bersaksi bahwa Erzaldi hadir dalam pertemuan antara perwakilan PT Timah dan perusahaan tambang swasta di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada Juni 2018. Pertemuan itu membahas jumlah sumber dan seberapa banyak bijih timah Bangka Belitung yang ditambang perusahaan swasta.
Pada saat itu Erzaldi mengimbau perusahaan-perusahaan tambang swasta agar membantu produksi bijih timah PT Timah yang rendah. Penjelasan Ahmad juga muncul di persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 22 Agustus 2024. Ia hadir sebagai saksi dengan terdakwa Harvey Moeis—yang disebut sebagai perwakilan dari PT Refined Bangka Tin. “Karena bagaimanapun PT Timah adalah saudara tua,” tutur Ahmad, menirukan imbauan Erzaldi.
Dalam pertemuan tersebut, Ahmad mengimbuhkan, pihak PT Timah sempat meminta jatah 50 persen produksi bijih timah dari kuota ekspor lima perusahaan swasta yang menambang di wilayah IUP PT Timah secara ilegal. Permintaan tersebut diajukan karena kelima perusahaan itu telah diberi persetujuan RKAB untuk melakukan kegiatan tambang. Permintaan tersebut sempat memicu perdebatan di dalam forum itu. “Tapi akhirnya kuota yang disepakati sebesar 5 persen,” ucap Ahmad.
Pengacara Harvey, Junaidi Saibih, menguatkan keterangan Ahmad soal kehadiran Erzaldi di Hotel Borobudur. Harvey juga hadir dalam pertemuan itu. Harvey menyampaikan Erzaldi hadir untuk memimpin pertemuan di hotel tersebut. “Pak Gubernur yang menginisiasi pertemuan,” ujar Junaidi. Dalam perkara ini, Harvey didakwa menerima duit Rp 420 miliar dari biaya sewa alat pelogaman timah. Duit itu dicatat seolah-olah sebagai biaya tanggung jawab sosial dan lingkungan beberapa perusahaan swasta tersebut.
Terdakwa lain, Tamron Tamsil alias Aon, pemilik CV Venus Inti Perkasa, melalui pengacaranya, Andy Inovi Nababan, juga mengatakan Erzaldi hadir dalam pertemuan itu bersama beberapa stafnya. Aon hadir karena diundang melalui sambungan telepon oleh seseorang. “Pertemuannya dalam konteks bisnis,” kata Andy. Aon didakwa mengakomodasi kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah periode 2015-2022 bersama terdakwa lain, yaitu Achmad Albani, Kwang Yung alias Buyung, dan Hasan Tjhie alias Asin yang merupakan anak buah Aon di CV Venus Inti Perkasa. Ia dituduh memperkaya diri senilai Rp 3,6 triliun.
Ditemui Tempo di Rosman Djohan Institute di Jalan Raya Pangkalpinang Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Erzaldi tak menjawab secara detail sejumlah pertanyaan yang disampaikan. Ia mengatakan perkara tersebut sudah menjadi ranah Kejaksaan Agung. “Lebih baik tanya ke pihak Kejaksaan,” ucapnya. Tempo juga sudah mengirimkan surat permintaan wawancara, tapi belum dijawab. Saat ini Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Gerindra Bangka Belitung itu bersiap mengikuti kembali pemilihan kepala daerah pada Oktober mendatang.
Penyidik sebenarnya sudah memeriksa Erzaldi pada Selasa, 28 Mei 2024. Selama delapan jam diperiksa, dia dicecar dengan 22 pertanyaan. Tapi tak ada pertanyaan soal pertemuan di Hotel Borobudur dan perannya dalam pembuatan RKAB. Ia hanya ditanyai seputar potensi kekayaan timah di Bangka Belitung, tata kelola timah oleh PT Timah, serta kontribusi timah terhadap kesehatan dan pendidikan. “Saya baca berita acara pemeriksaannya, isinya tidak membahas pokok perkara,” kata pengacara Amir Syahbana, Muhammad Zainul Arifin.
Orang lain yang diduga juga hadir dalam pertemuan di Hotel Borobudur adalah pengusaha bernama Hendry Lie, 59 tahun. Ia terseret kasus ini karena tercatat sebagai pemilik salah satu smelter, yakni PT Tinindo Inter Nusa. Namun pengacaranya, Rio Andre Winter Siahaan, membantah kabar bahwa kliennya hadir dalam berbagai pertemuan, termasuk di Hotel Borobudur. Kejaksaan Agung sudah menetapkan Hendry sebagai tersangka dalam kasus korupsi timah.
Rio menjelaskan, saat diperiksa sebagai saksi, kliennya mengaku tidak terlibat dalam kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Ia menyatakan tak terlibat dalam penyusunan kerja sama dengan PT Timah dan kegiatan operasional PT Tinindo Inter Nusa, khususnya kerja sama proses pemurnian dan pelogaman timah dengan PT Timah.
Rio juga menilai tuduhan terhadap kliennya yang disebut memperkaya diri melalui PT Tinindo Inter Nusa senilai Rp 1,05 triliun adalah keliru dan tidak mendasar. “Baik Bapak Hendry maupun PT Tinindo Inter Nusa tidak pernah menerima uang tersebut,” tutur Rio. Saat ini Hendry belum ditahan. Pendiri sekaligus pemilik maskapai Sriwijaya Air itu sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan pihaknya sedang berkoordinasi dengan penyidik soal pemeriksaan mantan Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan. Perihal status Hendry Lie, penyidik sudah menetapkan Hendry sebagai tersangka pada 27 April 2024. Namun, dia menambahkan, Kejaksaan Agung belum merasa perlu menahan Hendry. “Dengan berbagai alasan yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lani Diana, Mutia Yuantisya, dan Servio Maranda dari Bangka Belitung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saudara Tua Penambang Timah"