Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman RI melihat ada upaya memecah belah masyarakat di tengah polemik pemasangan pagar laut di perairan Tangerang. "Terutama terhadap masyarakat setempat, nelayan. Ini yang tidak kami kehendaki," ujar Ketua Ombudsman Mokhammad Najih dalam konferensi pers pencapaian penyelesaian laporan 2024 via zoom meet, Kamis, 16 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagar laut dari bambu dengan panjang 30,16 kilometer dan tinggi 6 meter itu menjadi sorotan. Pagar tersebut didirikan tanpa izin dan hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombudsman menerima keluhan dari masyarakat, khususnya nelayan. Mereka mengeluh harus berlayar memutar pagar untuk mencari ikan ke tengah laut. Waktu yang mereka butuhkan memutar hingga 1,5 jam. Selain memakan waktu, rute memutar juga membuat nelayan mengeluarkan bahan bakar lebih.
Di tengah polemik, muncul kelompok masyarakat bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengaku sebagai pemasang pagar. Mereka mengklaim pembangunan dilakukan untuk mencegah abrasi dan mengurangi dampak gelombang besar. Koordinator JRP, Sandi Martapraja, mengaku masyarakat sekitar ikut membangun pagar laut tersebut.
Namun, klaim tersebut berbeda dengan pengaduan masyarakat sekitar kepada Ombudsman yang mengatakan keberadaan pagar itu justru menimbulkan masalah. Bahkan Ombudsman memperkirakan ada kerugian sekitar Rp 16 miliar yang ditimbulkan dari pemasangan pagar.
Najih menjelaskan hitungan kerugian itu salah-satunya berasal dari ongkos yang harus di keluarkan nelayan untuk memutari pagar demi bisa melaut. "Kami sedang dalami maladministrasi ini dilakukan oleh pihak mana,” katanya.
Pagar tersebut sebenarnya sudah dikeluhkan masyarakat sejak 2023 lalu. Namun, belum ada tindakan tegas dari pemerintah kala itu. Pemerintah baru menyegelnya pada 9 Januari 2025.
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Keluatan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono mengatakan, pagar tersebut melintasi 16 desa dan dinyatakan tidak berizin. Tim Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten telah terjun melakukan pengecekan sejak 1 Oktober lalu. Hasilnya panjang pagar terus bertambah.
Ombudsman telah menerjunkan tim untuk melakukan pengecekan, siapa dalang atas pembuatan pagar tersebut. Namun, karena belum ada data yang jelas, Ombudsman belum bisa menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab.
Najih mengatakan, jika lembaganya telah meminta keterangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah daerah. Menurut Najih, KKP tidak pernah menerbitkan izin perihal pembuatan pagar. Pemerintah daerah juga mengaku tidak pernah ada yang mengajukan izin pembangunan pagar laut itu ke mereka.