Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan outlook atau proyeksi pemberantasan korupsi pada 2025. Sejumlah tantangan dinilai membayangi pemberantasan rasuah. Apa saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami melihat agenda pemberantasan korupsi akan menghadapi jalan menanjak yang sangat terjal," kata peneliti ICW, Yassar Aulia, dalam konferensi pers Catatan 100 Hari Prabowo dan Outlook Pemberantasan Korupsi 2025 di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis, 23 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan alasannya. Pertama, ICW melihat adanya pemudaran dalam komitmen pemberantasan korupsi. Yassar lantas mencontohkan pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya.
Misalnya, pernyataan Prabowo dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir pada 18 Desember 2024 lalu. Saat itu, kata Yassar, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut mengatakan akan memberikan kesempatan bagi para koruptor untuk 'bertaubat'. Namun, harus lebih dulu mengembalikan kerugian negara hasil korupsi.
Menurut Yassar, pernyataan itu sepintas terkesan baik. "Tapi jika kami telisik lebih dalam, pernyataan ini jelas tidak mempunyai dasar hukum yang kredibel."
Dia pun merujuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Pasal 4 beleid itu menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana pelaku korupsi.
Yassar melanjutkan, pernyataan Prabowo lalu dijelaskan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Supratman mengatakan, gagasan memaafkan koruptor dapat terealisasi berdasarkan Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
"Tapi pernyataan ini lagi-lagi keliru menurut pandangan ICW," ujar Yassar. Aturan tersebut ditujukan bagi tindak pidana ekonomi, seperti tindak pidana cukai atau kepabeanan. Dia menyebut, tidak ada ketentuan dalam UU Tipikor yang mengatur denda damai.
Dengan kata lain, kata dia, pernyataan pemerintah hendak memaafkan koruptor adalah upaya untuk memanipulasi hukum. Ini berpotensi menimbulkan dampak buruk dan patut dikhawatirkan. Sebab, dia menilai situasi pemberantasan korupsi belakangan ini memprihatikan.
Yassar lantas menunjukkan sebuah grafik berdasarkan hasil pemantauan persidangan perkara korupsi oleh ICW pada 2019-2023. Pada 2019, ada 1.019 kasus rasuah dengan 1.125 terdakwa. Setahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 1.218 perkara dan 1.298 terdakwa. Pada 2021 juga terjadi peningkatan, dengan 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa. Angka tersebut naik pada 2022 menjadi 2.056 kasus dengan 2.249 terdakwa. Pada 2023 mengalami penurunan, dengan 1.649 kasus dan 1.718 terdakwa.
Sedangkan tren kerugian negara pada 2019-2023 juga cenderung mengalami kenaikan. Sementara itu, jumlah pemulihan kerugian lebih rendah. Pada 2019, kerugian negaranya adalah Rp 12 triliun dengan pemulihan Rp 0,7 triliun. Pada 2020 jumlahnya meningkat, kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun dengan pemulihan Rp 19,6 triliun.
Setahun kemudian, kerugian negara sebanyak Rp 62,9 triliun dengan pemulihan hanya Rp 1,4 triliun. Pada 2022, kerugian negara akibat kasus korupsi sejumlah Rp 48,7 triliun dengan pemulihan Rp 3,8 triliun. Sedangkan pada 2023, kerugian negara mencapai Rp 56 triliun dengan kerugian negara Rp 7,3 triliun.
"Dengan tidak adanya komitmen dalam penguatan substansi hukum pemberantasan korupsi, ICW memprediksi akan ada peningkatan jumlah kasus korupsi dan kerugian negara di masa depan," tutur Yassar.
Dia menjelaskan, argumentasi tersebut berdasarkan tidak adanya mekanisme pemidanaan yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Contohnya , Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset yang tidak diprioritaskan prioritas oleh pemerintahan Prabowo.