Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan calo klinik aborsi ilegal di Percetakan Negara III, Senen, Jakarta Pusat meraup untung lebih banyak dibanding pemilik dan dokter klinik.
Untuk satu pasien, seorang calo bisa mengambil untung 50 persen untuknya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan 50 persen lainnya akan diberikan ke pemilik klinik aborsi dan dibagi kepada perawat, resepsionis, dan pengantar sebesar Rp 150 - 250 ribu per hari. Lalu sisanya akan dibagi 40 persen ke dokter dan 40 persen pemilik tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi untung calo ini lebih besar dibanding tenaga support tim dan dokter," ujar Calvijn saat dihubungi, Sabtu, 26 September 2020.
Tingginya keuntungan yang diperoleh ini membuat para calo berusaha semaksimal mungkin mempromosikan klinik aborsi. Salah satunya dengan memasarkannya lewat internet dan membuat website klinikaborsiresmi.com.
"Web itu dibuat oleh calo. Kami menemukan fakta bahwa dalam pratik aborsi, peran calo sangat besar," kata Calvijn.
Pekan lalu, klinik aborsi ilegal ini digrebek oleh polisi dan menangkap 10 orang. Adapun ke-10 tersangka tersebut, antara lain berinisial LA (52 tahun), DK (30), NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25).
Dari pengakuan para tersangka, klinik di Percetakan Negara III itu telah beroperasi sejak 2017 dan telah mengaborsi 32 ribu lebih janin. Untuk tarif yang dikenakan sekitar Rp 2 juta untuk mengaborsi janin berusia di bawah 5 minggu dan Rp 4 juta untuk janin yang telah berumur di atas 5 minggu.
Dalam sehari, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan klinik aborsi itu bisa melayani 5-6 pasien. Keuntungan yang diraup klinik aborsi ini setiap hari sekitar Rp 10 juta dan meraup Rp 10 miliar hingga saat ini.
Atas tindakannya, para tersangka dijerat dengan pasal berlapis. Yaitu, Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.