Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, ikut menanggapi putusan Pengadilan Negeri Bandung yang memvonis terpidana kasus pemerkosaan 13 santriwati Herry Wirawan. Karena dihukum penjara seumur hidup, maka disebutkan biaya restitusi sebanyak Rp 331.527.186 tidak bisa dibebankan ke Herry melainkan kepada pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya melihat bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan restitusi dalam peraturan perundang-undangan belum terintegrasi secara tuntas dan baik dalam sistem pemidanaan,” ujar Arsul dalam diskusi virtual Restitusi Vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual yang digelar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu, 23 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan perlu dipelajari kembali. Mulai dari UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 23/2002 atau UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 13/2006 atau UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lalu UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), hingga UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana.
Asrul mengatakan peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 3/2003 tentang Kompensasi Restitusi dan Rehabilitasi yang terkait dengan korban pelanggaran HAM berat, kemudian PP Nomor 7/2018 dan PP Nomor 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi Restitusi dan Pemberian Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Serta PP Nomor 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Pidana. “Itu adalah aturan yang kita miliki.”
Menurut politikus PPP itu, belum ada penjelasan soal status restitusi, apakah pidana pokok atau tambahan. Karena restitusi tidak diatur dalam KUHP sebagai salah satu jenis pidana. Kemudian tidak dijelaskan pula siapa yang dimaksud pihak ketiga yang memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarganya, seperti yang dijelaskan dalam definisi restitusi pada UU Perlindungan Saksi dan Korban,
Selain itu, ia menilai secara struktural terdapat beberapa perbedaan prosedur pemberian restitusi. Pada umumnya restitusi diajukan melalui LPSK, tapi dalam UU TPPO terbuka kemungkinan untuk dilakukan tanpa harus melalui LPSK.
Serta umumnya, Arsul melanjutkan, restitusi diajukan sebelum tuntutan, tapi UU Perlindungan Saksi dan Korban memungkinkan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan. “Kemudian belum ada prosedur baku pemberian restitusi terhadap semua tindak pidana,” tutur Asrul.
Berkaca pada kasus Herry Wirawan, Asrul mencoba mendalami cara berpikir hakim memakai Pasal 67 KUHP yang menjelaskan bahwa terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain. Menurut dia, putusan soal restitusi yang seharusnya dibebankan ke tersangka dikonversikan menjadi kompensasi yang merupakan tanggung jawab negara.
Padahal, Asrul Sani mengetahui bahwa Herry Wirawan masih memiliki aset kekayaan meskipun belum diketahui apakah atas nama pribadi atau yayasan. “Tapi itu bisa dipakai untuk mengganti rugi berdasarkan putusan pengadilan,” kata dia ihwal putusan restitusi di kasus pemerkosaan.
MOH KHORY ALFARIZI