Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Nur Alam, Saksi Ahli: Tambang Nikel AHB Rusak Lingkungan

Saksi ahli KPK menyebut telah terjadi kerusakan alam yang tak dapat diperbaiki akibat pertambangan nikel, yang izinnya diberikan Nur Alam.

14 Februari 2018 | 16.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam (dua kanan), sebelum menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, 12 Oktober 2017. Ia diperiksa sebagai tersangka terkait tindak pidana korupsi persetujuan dan penerbitan IUP di Sultra tahun 2008-2014. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Saksi ahli kerusakan tanah dan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Wasis, menyebutkan pertambangan nikel yang izinnya diterbitkan Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam, atas PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan merusak ekosistem di dalamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kerusakan tanah dan lingkungan atau hutan akibat tambang nikel tersebut bersifat irreversible (tidak atau sulit dapat pulih kembali seperti sedia kala)," kata Basuki saat membaca kesimpulan temuannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu, 14 Februari 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu disampaikan Basuki dalam sidang lanjutan kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) PT AHB di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, pada 2014 dengan terdakwa Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam.

Basuki mengatakan dirinya diminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meneliti dan menghitung akibat kerusakan lingkungan di area pertambangan nikel PT AHB di Pulau Kabaena. "Saya sudah melakukan penelitian sejak proses penyelidikan (kasus korupsi Nur Alam) pada Mei 2016," ujarnya.

Dari hasil penelitiannya, dia menyimpulkan empat hal. Pertama, telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan di PT AHB melalui kegiatan tambang nikel seluas 357,20 hektare. "Di dalam IUP sebesar 280,49 hektare dan di luar IUP sebesar 76,71 hektare," ucapnya.

Kedua, kata Basuki, dari hasil pengamatan lapangan dan analisis kerusakan tanah menunjukkan pada areal lokasi tambang memang telah terjadi kerusakan lingkungan karena telah masuk kriteria baku kerusakan seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Lengkungan Hidup Nomor KEP-43/MENLH/10/1996 untuk kriteria kerusakan dan vegetasi.

Ketiga, menurut Basuki, dari hasil pengamatan lapangan dan analisis kerusakan tanah menunjukkan pada areal lokasi tambang memang telah masuk kriteria baku kerusakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 untuk kriteria kerusakan tanah di lahan kering untuk parameter ketebalan solum tanah, erosi tanah, dan batuan permukaan.

"Keempat, kerusakan tanah dan lingkungan atau hutan akibat tambang nikel bersifat irreversible (tidak/sulit dapat pulih kembali seperti sedia kala)," tuturnya.

Atas penerbitan surat keputusan Gubernur terkait dengan IUP tersebut, Nur Alam didakwa merugikan negara sedikitnya Rp 2,7 triliun dari kerusakan lingkungan akibat proses penambangan tersebut. Ia diduga telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus