Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

SP3 KPK: Dampak Buruk Revisi UU KPK

Setelah revisi UU KPK, lembaga ini menghentikan penyidikan kasus korupsi delapan kali. Tak beda dengan polisi dan jaksa.

19 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK sudah delapan kali menerbitkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan atau SP3.

  • Kewenangan KPK menghentikan penyidikan merupakan hasil revisi Undang-Undang KPK.

  • Eks penyidik KPK, Novel Baswedan, menyebutkan kewenangan menerbitkan SP3 bisa menjadi jalan untuk politisasi kasus.

KEPUTUSAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) untuk pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, dianggap janggal dan mendapat banyak sorotan. Ini kedelapan kalinya KPK menghentikan penyidikan sepanjang berdirinya lembaga antirasuah itu.

Pada saat yang hampir bersamaan, KPK mengeluarkan SP3 untuk bekas Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Supian Hadi. Menurut juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, SP3 diterbitkan atas dasar keputusan pimpinan komisi antirasuah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Atas nama tersangka SH sudah dikeluarkan penghentian penyidikannya oleh KPK berdasarkan keputusan pimpinan per bulan Juli 2024," kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supian adalah tersangka tindak pidana korupsi izin tambang dengan kerugian negara Rp 5,8 triliun dan US$ 711 ribu. Dia ditetapkan sebagai tersangka pada 2019.

Tessa mengatakan proses penyidikan dihentikan karena lembaga auditor eksternal tidak bisa menghitung dugaan kerugian negara dalam perkara yang menjerat Supian.

Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, angkat bicara soal langkah komisi antirasuah menerbitkan SP3 kasus Surya dan Supian tersebut. Menurut Novel. penghentian penyidikan ini merupakan dampak buruk revisi Undang-Undang KPK.

"Sejak awal saya tidak setuju terhadap kewenangan KPK bisa menghentikan penyidikan atau SP3," ujarnya pada Ahad, 18 Agustus 2024.

Kewenangan penerbitan SP3 oleh KPK, kata Novel, bisa membuat lembaga ini ceroboh dalam menaikkan kasus ke tahap penyidikan, sekaligus menjadi jalan mengintervensi penanganan kasus korupsi. "Hal itu bisa menjadi jalan untuk politisasi kasus," ucapnya.

Kewenangan ini merupakan "hadiah" atas revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Dalam Undang-Undang KPK yang lama, lembaga antirasuah dilarang mengeluarkan SP3 sehingga penelitian dan penyelidikan dilakukan serius sebelum menetapkan tersangka.

"Dengan undang-undang yang lama, semua proses penyidikan berujung persidangan yang dilakukan secara terbuka. Tapi proses penerbitan SP3 dilakukan dalam rapat di ruang tertutup," kata Novel.

Novel mengatakan seharusnya KPK dikembalikan pada fungsi semula, yakni tidak dapat menghentikan penyidikan. Tujuannya agar proses penanganan korupsi dilakukan secara akuntabel dan transparan. Soalnya, pendirian KPK untuk mengoreksi penegakan hukum oleh polisi dan jaksa. Sehingga KPK tak bisa mengentikan penyidikan kasus korupsi.

Sebelumnya, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK pada 16 Januari 2024, Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, mengatakan lembaganya telah mengeluarkan SP3 sebanyak enam kali.

Pertama, SP3 kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya. SP3 dikeluarkan karena Mahkamah Agung mengeluarkan putusan ontslag van rechtsvervolging atau perbuatan terdakwa bukan suatu tindak pidana pada April 2021.

Surya Darmadi berbincang dengan kuasa hukumnya saat menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 8 September 2022. Dok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

KPK juga mengeluarkan SP3 untuk mantan Bupati Seruyan, Darwan Ali; eks Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron; dan mantan Kepala Bidang Prasarana Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Timur, Budi Juniarto, dengan alasan ketiganya telah meninggal.

Alasan tersangka sakit keras juga menjadi dasar KPK mengeluarkan SP3, seperti dalam perkara mantan Direktur Jenderal Kelistrikan dan Pemanfaatan Energi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jacobus Purnomo; serta mantan Rektor Universitas Airlangga, Fasichul Lisan.

Dampak Buruk Revisi UU KPK 

KPK dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang tersebut diterbitkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 27 Desember 2002.

Pasal 40 Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Namun, semasa pemerintahan Presiden Jokowi, Undang-Undang KPK dua kali diubah. Pada perubahan kedua yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 17 Oktober 2019, Pasal 40 ditambah menjadi 4 ayat.

Ayat 1 menyebutkan KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Sementara ayat 2 menyatakan penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK paling lambat satu minggu, terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Kemudian, ayat 3 mengatur penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 harus diumumkan KPK kepada publik.

Terakhir ayat 4 berbunyi bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 dapat dicabut pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pengajar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, mengatakan meski KPK mendapatkan kewenangan SP3 tak memupus kewajiban mereka bekerja secara profesionel mengusut sebuah perkara. Sebab, kata dia, penerbitan SP3 tidak bisa serampangan karena ada tiga syarat, yakni tidak cukup bukti, bukan perbuatan pidana, serta tersangkanya telah meninggal atau gila dan sebagainya.

Dosen hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, juga mengingatkan meski KPK diberi kewenangan untuk menerbitkan SP3, bukan berarti penghentian penyidikan kasus bisa diobral. "Dalam kasus Surya Darmadi, SP3 itu aneh. SP3-nya janggal," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus