Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tersangka Korupsi e-KTP Paulus Tannos Ditangkap CPIB Singapura, Bagaimana Aturan Ekstradisi?

Tersangka kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, ditangkap oleh CIPB di Singapura dan dalam proses ekstradisi ke Indonesia. Bagaimana aturannya?

2 Februari 2025 | 09.13 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP, Tjin Tian Po alias Paulus Tannos. Tempo/Setri Yasra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga anti-korupsi Singapura atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) menangkap buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, yang berada di Singapura sejak akhir 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan Paulus Tannos tersebut atas dasar surat permohonan penahanan sementara (provisional arrest request/PAR) terhadap Paulus Tannos ke otoritas Singapura oleh pemerintah Indonesia. Otoritas Singapura kemudian mengabulkan permohonan itu dan menangkap Paulus Tannos. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang dalam proses ekstradisi tahanan Paulus Tannos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa itu Ekstradisi Tahanan?

Dilansir dari laman setkab.go.id, ekstradisi adalah proses hukum saat seseorang yang sedang ditahan, baik dalam status tersangka maupun terdakwa, dipindahkan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain yang mengajukan permintaan. Dalam kasus Paulus Tannos, yurisdiksi Indonesia mengajukan permintaan ke yurisdiksi Singapura. Ekstradisi ditujukan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas tindak pidana yang didakwakan kepada orang tersebut. 

Ekstradisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Dalam pasal 1 UU tersebut dijelaskan bahwa ekstradisi adalah “penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.

Pasal 3 menyebutkan seseorang dapat diekstradisikan karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, selain jenis pidana tersebut harus dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi atau yang lebih dikenal dengan istilah asas double criminality.

Adapun kejahatan-kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan menurut lampiran UU Ekstradisi antara lain:
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan.
3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat.
4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.
5. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur.
6. Penipuan.
7. Penyelundupan.
8. Pembajakan laut.
9. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
10. Tindak Pidana Korupsi.
11. Tindak Pidana Narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya

Pasal 11 UU Ekstradisi menjelaskan bahwa kewenangan untuk mengadili dan memidana berada pada negara peminta ekstradisi, namun apabila orang yang dimintakan ekstradisinya telah diadili dan dibebaskan atau telah selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisinya maka permintaan ekstradisinya dapat ditolak.

Aturan Ekstradisi Indonesia dan Singapura

Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura tertuang dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 25 Januari 2022. Aturan itu telah diratifikasi oleh DPR dan resmi berlaku pada 21 Maret 2024. Perjanjian ini mengatur 31 tindak pidana yang bisa diekstradisi, di antaranya suap, korupsi, pemalsuan mata uang, dan kejahatan seksual.

Pada Pasal 6 ayat 2 perjanjian ekstradisi itu ditetapkan sejumlah syarat untuk permintaan ekstradisi. Pertama, keterangan seakurat mungkin atas buron yang dicari beserta informasi lain yang dapat membantu menentukan identitas orang tersebut, kewarganegaraan, dan kemungkinan lokasinya, termasuk foto terbaru atau rekam sidik jari apabila tersedia.

Kedua, keterangan tentang bentuk tindak pidana serta perbuatan yang dituduhkan kepada buron, termasuk waktu dan lokasi terjadinya tindak pidana. Ketiga, teks ketentuan hukum mengenai tindak pidana, kedudukan tindak pidana dan sanksi, termasuk hukum ihwal persyaratan dimulainya proses peradilan atau pelaksanaan pidana. Keempat, konfirmasi tertulis dari Jaksa Agung pihak pemohon yang dilengkapi dengan dokumen penguat.

Pada pasal yang sama juga menyebutkan, apabila permintaan ekstradisi berhubungan dengan buron berstatus tersangka, permohonan harus disertai dengan surat penahanan. Surat ini dikeluarkan oleh hakim atau pejabat berwenang dari pihak pemohon. Selain itu, diperlukan keterangan para saksi di bawah sumpah mengenai tindak pidana tersebut serta bukti-bukti lain.

Dalam kasus Paulus Tannos, pemerintah Indonesia memiliki waktu 45 hari untuk melengkapi berkas permohonan ekstradisi terhitung sejak Paulus menjalani masa penahanan sementara. Akan berakhir pada 3 Maret," kata Menteri Hukum Supratman Andi di kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Januari 2025.

Amelia Rahima Sari, Ade Ridwan Yandwiputra, dan Ni Kadek Trisna Cintya Dewi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus