Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sudah ada di DPR sejak April 2023. Namun, pembahasan RUU itu tak berjalan lantaran bertepatan dengan momen tahun politik, yakni pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itu adalah tahun politik, banyak teman-teman dewan yang kembali maju pada Pileg berikutnya sehingga memang ini belum dibahas," kata Eddy Hiariej, pada acara Media Gathering di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum di Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat ini, RUU Perampasan Aset juga tak muncul dalam daftar RUU yang diusulkan DPR untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Artinya, perwujudan regulasi penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang tampaknya masih jauh dari angan.
Eddy Hiariej memaklumi keputusan para anggota dewan tersebut. Sebab, praktik selama ini, perampasan aset telah dijalankan oleh aparat penegak hukum. Dia menjelaskan, kesungguhan pemerintah dan DPR untuk memberantas korupsi tidak bisa diukur semata-mata hanya karena RUU Perampasan Aset tidak menjadi skala prioritas.
Wamenkum berpandangan bahwa perampasan aset ini memang tidak bisa dipisahkan dari sistem peradilan pidana secara utuh dan itu dilakukan baik oleh KPK, Kejaksaan Agung, maupun Kepolisian. Namun, dia tak menampik bahwa RUU itu masih memerlukan pembahasan, terutama mengenai hukum acara pelaksanaan perampasan aset tersebut. Sebab, dalam RUU Perampasan Aset, penyitaan bisa dilakukan tanpa didahului dengan perkara pidana.
Titik berat dalam RUU Perampasan Aset yang perlu pembahasan panjang, kata Eddy Hiariej, yakni bagaimana hukum acaranya karena perampasan aset adalah nonconviction based on forfeiture (NCB).