Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung membongkar praktik jual-beli vonis Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti.
Tiga hakim dan satu pengacara ditangkap.
Bahkan ada indikasi penyuapan terhadap hakim agung yang memutus kasasi Ronald.
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) menetapkan mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Zarof Ricar, sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan kasasi Gregorius Ronald Tannur pada Jumat, 25 Oktober 2024. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menyatakan penetapan itu merupakan pengembangan dari penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan pengacara Ronald, Lisa Rachmat, pada Rabu sebelumnya. Penyidik pun langsung menahan Zarof.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qohar menyatakan Zarof merupakan perantara yang menghubungkan Lisa dengan para hakim agung yang menangani kasasi itu. Lisa, menurut Qohar, berjanji memberikan uang Rp 5 miliar agar para hakim agung tetap memvonis bebas Ronald. “Untuk ZR diberikan fee Rp 1 miliar atas jasanya tersebut,” kata Qohar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronald Tannur adalah terdakwa kasus pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, pada Oktober 2023. Majelis hakim PN Surabaya, yang terdiri atas Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, memvonis bebas Ronald pada 24 Juli 2024. Mahkamah Agung kemudian mengubah vonis itu menjadi 5 tahun penjara pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Kejagung menahan Erintuah cs plus Lisa karena dugaan jual-beli vonis bebas Ronald. Tim penyidik juga menyita uang tunai senilai Rp 20,38 miliar dalam penggeledahan di kediaman Erintuah, Heru, Mangapul, dan Lisa. Selain uang, penyidik menyita barang bukti elektronik dan catatan transaksi dalam penggeledahan itu. Kejagung menduga uang itu berhubungan dengan vonis bebas terhadap Ronald.
Sedangkan dari kediaman Zarof, penyidik menyita uang tunai dalam berbagai mata uang bernilai lebih dari Rp 920 miliar plus emas batangan 51 kilogram. Qohar menyatakan uang itu merupakan hasil kerja Zarof sebagai makelar kasus selama periode 2012-2022. “Berdasarkan keterangan yang bersangkutan, ini dikumpulkan mulai 2012 hingga 2022. Karena 2022 sampai sekarang yang bersangkutan sudah purnatugas," ujar Qohar.
Soal pengurusan kasasi Ronald Tannur, Zarof mengaku kepada penyidik baru sempat berkomunikasi dengan para hakim agung. Dia mengaku belum menyerahkan uang suap itu. Qohar pun menyatakan timnya menemukan uang untuk para hakim agung itu masih terbungkus amplop di kediaman Zarof di kawasan Senayan, Jakarta. Meski demikian, Kejaksaan Agung akan terus menelusuri hal itu.
Petugas menata barang bukti perihal penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, perihal gratifikasi kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Oktober 2024. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia Yasardin menyatakan terdapat sejumlah faktor penyebab masih adanya hakim yang menerima suap. Pertama, menurut dia, karena lemahnya pengawasan. Yasardin menyatakan saat ini terdapat 7.370 hakim yang tersebar di 923 satuan kerja pengadilan di Indonesia. Jumlah itu sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah pengawas di Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Apalagi KY dan Bawas MA tak memiliki jangkauan yang luas karena terpusat di Jakarta. "Jadi, sistem pengawasannya harus diperluas," kata Yasardin saat dihubungi Tempo, Jumat, 25 Oktober 2024.
Yasardin menilai, baik pengawasan oleh KY maupun Bawas MA memang tak harus selalu dilakukan secara fisik. Dia menekankan pentingnya membangun sistem berjenjang. Untuk efisiensi, menurut dia, baik KY maupun Bawas MA seharusnya bisa bersinergi memetakan pengadilan mana yang memiliki rekam jejak hakimnya menerima suap dan gratifikasi.
Dia pun menilai pengawasan itu tak cukup dilakukan terhadap para hakim. Melihat pola yang terjadi selama ini, menurut Yasardin, suap kerap melibatkan orang-orang di sekitar hakim. Karena itu, dia menyarankan KY dan Bawas MA mengawasi juga orang-orang di sekitar hakim. "Kalau dilihat polanya, pihak yang beperkara tidak langsung berhadapan dengan hakim, tapi mungkin lewat panitera, lewat lainnya," ujar Yasardin.
Selain masalah pengawasan, Yasardin menilai fenomena hakim menerima suap tak lepas dari kesejahteraan. Dia mengapresiasi langkah pemerintah yang meningkatkan tunjangan hakim hingga 40 persen melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024. Namun dia menilai hal itu tidak cukup karena tak meningkatkan gaji pokok para hakim.
Saat ini, menurut dia, hakim dengan golongan IV/E, golongan tertinggi di pengadilan tinggi, hanya mendapat gaji pokok sekitar Rp 6,3 juta. Sedangkan hakim dengan golongan III/A, golongan terendah, hanya mendapat gaji pokok sekitar Rp 2,7 juta. Hal ini, kata Yasardin, menjadi masalah ketika seorang hakim pensiun dan hanya mendapat 70 persen dari gaji pokok dan tak mendapat tunjangan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, sepakat dengan pendapat Yasardin soal masih lemahnya pengawasan terhadap hakim. Selama ini, menurut pantauan ICW, pengawasan terhadap proses peradilan sebatas berkirim surat. “Tanpa ada pengawasan secara fisik,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Dengan model seperti itu, menurut Diky, hakim-hakim di daerah tidak memandang pengawasan tersebut secara serius. Selain itu, pengawasan seperti ini menimbulkan celah bagi para hakim untuk bermain mata dengan pihak yang beperkara.
Diky juga sepakat jika KY dan MA melakukan pemetaan terhadap pengadilan-pengadilan yang rentan terjadi suap. Dia juga menyarankan agar MA melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan integritas para hakim di semua tingkatan. Selain itu, dia meminta MA, KY, dan KPK memetakan potensi korupsi di lembaga peradilan. Hal itu berguna agar program pengawasan nantinya bisa berjalan efektif di tengah keterbatasan sumber daya pengawas hakim. “Agar bisa dijadikan pedoman pengawasan yang komprehensif,” katanya.
Soal kesejahteraan hakim, Diky sepakat perlu ada peningkatan. Namun dia kembali menegaskan pentingnya pengawasan yang komprehensif. Pasalnya, berdasarkan sejumlah kasus, banyak hakim yang telah mendapatkan posisi tinggi dan memiliki pendapatan besar terlibat kasus suap. Contohnya adalah hakim agung Gazalba Saleh yang terbukti menerima suap Rp 62,8 miliar.
Dia pun menilai pengungkapan kasus suap hakim oleh Kejagung ini merupakan fenomena gunung es. Berdasarkan data ICW, dalam lebih dari satu dekade terakhir, terdapat puluhan hakim yang telah terbukti menerima suap. Angka itu, menurut dia, tak menunjukkan data sesungguhnya berapa hakim yang terlibat dalam jual-beli putusan.
Juru bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, mengakui bahwa pengawasan terhadap para hakim masih belum optimal. Sejauh ini, menurut dia, KY telah berupaya menjaga agar para hakim memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan. KY juga terus mengidentifikasi perkara yang berpotensi terjadinya upaya mempengaruhi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. "KY juga melakukan kegiatan pemantauan sebagai langkah pencegahan," ujarnya melalui keterangan tertulis.
Soal masih ada hakim yang menerima suap, Mukti menyebutkan dua penyebab, yaitu kebutuhan dan keserakahan. Dia menyatakan banyak hakim yang memang menerima suap untuk memenuhi kebutuhannya atau disebut corruption by needs. Namun ada juga hakim yang menerima suap untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedon atau corruption by greeds.
Menurut Mukti, tak semua hakim saat ini kesulitan memenuhi kebutuhannya. Dia mencontohkan hakim-hakim di pengadilan kelas tertentu dan hakim agung yang telah memiliki pendapatan besar dari negara. “Seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,” ucap Mukti.
Juru bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Fajri Nursyamsi punya pendapat lain. Dia menilai celah korupsi terjadi karena kewenangan hakim yang sangat besar, dari memeriksa hingga memutus suatu perkara. Sayangnya, menurut Fajri, kewenangan yang besar ini kerap tak dibarengi dengan transparansi yang memadai agar masyarakat bisa ikut mengawasi. “Masalahnya ada pada proses persidangan yang tidak selalu transparan,” tuturnya.
Transparansi proses persidangan sangat penting, menurut Fajri, agar masyarakat bisa ikut mengawasi di tengah lemahnya pengawasan. Dalam beberapa kasus, dia menilai pengawasan dari masyarakat cukup efektif untuk mengontrol kinerja hakim. Masyarakat bisa memviralkan putusan janggal yang dikeluarkan hakim agar mendapat perhatian lebih luas. “Tapi sayangnya tidak semua kasus ketidakadilan bisa diviralkan,” kata Fajri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan laporan ini.