Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

’Error’ Proyek Microsoft

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat yang akan memanggilnya awal Januari nanti, Menteri Sofyan Djalil sebaiknya menyiapkan diri dengan baik.

Sebagai menteri yang mengurus bidang komunikasi dan informatika, ia akan ditanya mengapa pemerintah RI menandatangani memorandum of understanding (MOU) dengan perusahaan Microsoft asal Amerika Serikat, pada 14 November lalu, untuk memakai peranti lunak (software) di lingkungan kantor pemerintahan. Menteri Sofyan akan dicecar pertanyaan mengapa memilih peranti lunak Microsoft, yang jauh lebih mahal, ketimbang mengembangkan ”Indonesia, Go Open Source” (IGOS), yang lebih murah dan pernah didukung lima menteri melalui Deklarasi Bersama IGOS.

Menteri Sofyan bisa saja menjawab, MOU antara pemerintah RI dan Microsoft itu belum mengikat dan masih bisa diubah. Dia juga bisa mengatakan bahwa yang penting bagi pemerintah bukan keharusan memakai merek Microsoft, melainkan pemakaian peranti lunak yang legal, baik dari kode terbuka (open source) maupun kode tertutup (proprietary).

Alasan ini tentu masuk akal. Pemakaian peranti lunak yang halal akan menyelamatkan Indonesia dari tuduhan sebagai markas peranti lunak bajakan—tuduhan yang bisa mendatangkan berbagai macam sanksi dari dunia internasional bagi pemerintah.

Namun, bagian terberat yang harus dijelaskan Menteri Sofyan di DPR adalah mengapa ia (dan pemerintah RI) seakan berpaling dari IGOS yang murah dan mulai melirik Microsoft. Menteri Sofyan pasti akan ditanya apakah MOU itu ada kaitannya dengan hasil pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan bos Microsoft, Bill Gates, di Redmond, Washington, akhir Mei tahun 2005 lalu. Kalau benar ada kaitannya, tentu pertanyaan berikut adalah apa saja benefit yang diminta Bill Gates dari pemerintah Indonesia.

Perlu juga dijawab secara terbuka: benarkah MOU itu ada hubungannya dengan janji bantuan dari Bill Gates Foundation kepada Indonesia seperti yang diduga oleh anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha Faisal Basri? Jawaban Sofyan akan menentukan apakah tensi pertemuan nanti akan menurun atau malah meningkat ke titik didih.

Seandainya Menteri Sofyan menjawab MOU dengan pihak Microsoft didorong oleh kenyataan bahwa IGOS belum siap pakai, pernyataan itu bisa dibantah. Menteri Riset dan Teknologi menyatakan seluruh komputer di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, juga di Badan Tenaga Nuklir Nasional dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, telah memakai IGOS dan beroperasi mulus tanpa gangguan. Artinya, tak ada alasan program itu tidak bisa dipakai di kantor pemerintah yang lain.

Maka, inti persoalan sebenarnya adalah kebijakan pemerintah soal pemakaian peranti lunak komputer. Di sini memang terasa ada yang tidak konsisten. Dalam Deklarasi Bersama IGOS pada 30 Juni 2004, semangat untuk mengembangkan open source software terasa sangat bergelora. Tapi surat Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil pada 24 Oktober 2005 agak berbeda. Surat kepada para menteri, lembaga pemerintah, sampai bupati dan wali kota seluruh Indonesia itu mulai membuka peluang instansi pemerintah memakai peranti lunak kode tertutup, asalkan legal. Selanjutnya, MOU dengan Microsoft, dua bulan lalu, seakan malah ”mengunggulkan” peranti lunak kode tertutup Microsoft, meskipun Menteri Sofyan menyatakan masih mendukung open source.

Ketegasan memilih peranti lunak ini penting. Satu alasan pokok bisa dijadikan dasar pertimbangan: semua dokumen publik harus bisa diakses dengan software apa pun. Dengan kata lain, seluruh lapisan masyarakat, tanpa harus terhalang oleh kewajiban membeli peranti lunak kode tertutup, harus dipastikan bisa mengakses dokumen publik tadi.

Ada banyak keuntungan dengan memakai peranti lunak kode terbuka. Peranti jenis ini bisa dimiliki secara gratis. Di Brasil, dari 300 ribu komputer di kantor pemerintah yang dialihkan ke open source, ditaksir bisa dihemat US$ 120 juta dalam setahun. Selain itu, program-program open source bisa diotak-atik sesuai dengan kebutuhan penggunanya karena source code (kode program) bisa dimiliki oleh pengguna. Ini yang tidak bisa dilakukan dengan program kode tertutup Windows, misalnya. Penyebabnya, kode program dalam Windows tidak dikuasai oleh pengguna. Dengan menguasai kode program open source, dokumen yang sifatnya rahasia juga bisa mendapat pengamanan lebih baik karena sistem pengamanan bisa diciptakan sendiri.

Sudah banyak negara di dunia yang mulai beralih ke open source, termasuk negara kaya seperti Jerman dan Korea Selatan. Terlalu congkak rasanya jika Indonesia yang miskin ini tidak mengikutinya. Apalagi para ahli Indonesia sudah menguasai teknologi maju itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus