Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM hujan yang dulu menyenangkan, kini menjadi menakutkan. Hujan seperti sudah dibuhul mati dengan banjir, seperti kebakaran hutan melekat pada musim kemarau. Belum berapa lama hujan datang, banjir sudah mampir ke mana-mana. Jika bukan banjir, maka ”keponakannya” yang singgah: bencana longsor.
Sebagian Bandung, Jawa Barat, tergenang akibat meluapnya Sungai Citarum. Di Langkat, Sumatera Utara, banjir memaksa 41 ribu warga mengungsi dan merenggut jiwa 11 orang. Masih di provinsi ini, di Mandailing Natal, longsor menewaskan puluhan orang. Aceh pun sedang terendam.
Banjir di Aceh bermula di sepanjang aliran Kreung Tamiang. Bagi warga Desa Pahlawan Bawah, Aceh Tamiang, yang dilewati sungai ini, banjir itu merupakan yang terbesar dalam 10 tahun belakangan. Amukan Tamiang diikuti tiga sungai lainnya sehingga tujuh kabupaten terendam, hampir 10 ribu rumah rusak parah, 400 ribu warga mengungsi, dan setidaknya 70 orang tewas.
Jelas, telah terjadi kerusakan hutan yang hebat di Pegunungan Leuser, hulu dari keempat sungai itu. Sebab, hanya kerusakan itulah kekuatan yang sanggup mengacaukan daur air Leuser. Punggung Leuser kehilangan sebagian besar kemampuannya menabung air hujan.
Inilah statistik kerusakan di wilayah itu. Pertama, hampir seluruh kerusakan itu dilakukan para pembalak hutan. Kedua, laju kerusakan hutan selama setahun ini 10 kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hutan rusak sudah empat kali luas Jakarta.
Nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang diduga punya andil dalam peningkatan laju kerusakan itu. Pascaperdamaian, anggota GAM turun dari Leuser. Kini, tak ada lagi ”penjaga hutan” yang ditakuti pembalak liar (lihat Bencana dari Hulu Leuser).
Sangat disayangkan jika ternyata dugaan ini benar. Tak sepatutnya keberhasilan menghentikan perang mengakibatkan bencana baru yang tak kalah dahsyat. Pemerintah tidak punya pilihan selain segera ”mengambil alih” peran GAM. Pelaku pembalakan harus dikejar dan ditangkap. Pelajaran penting, bencana banjir dan longsor ini merupakan bukti bahwa usaha menghentikan pembalakan liar belum cukup efektif.
Selain pembalak liar, pembalak ”resmi’’ juga harus diatur. Izin penebang resmi atas sekitar 637 ribu hektare harus pula dicabut. Jika itu tidak dilakukan, bencana akan tetap datang, bahkan lebih dahsyat. Kehilangan hutan seluas empat kali Jakarta sudah menyebabkan banjir di tujuh kabupaten. Bayangkan jika pohon di areal penebangan resmi di Leuser seluas 10 kali Jakarta sudah ditebang semuanya.
Tentu saja, pencabutan izin tebang perlu mengacu pada hukum. Karena itu, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 34/2002 yang kini ada di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera dituntaskan. Inilah revisi yang akan mengurangi hak tebang pengusaha hingga dalam setahun total hutan yang ditebang tak lebih dari satu juta hektare saja. Sebenarnya, sejuta hektare pun masih terlalu luas, karena kemampuan menanam kembali hutan tidak seluas itu.
Upaya ini tidak hanya dilakukan di Aceh. Pemerintah harus melakukannya di seluruh Indonesia, karena banjir dan longsor terjadi di mana-mana dan meminta tumbal tak sedikit. Lihat saja, baru sebulan musim hujan datang, sudah 25 ribu keluarga atau sekitar 80 ribu jiwa menjadi pengungsi. Di tempat pengungsian, pasti mereka bertanya: kapan musim hujan menjadi saat yang menyenangkan lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo