Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

<i>Re-inventing </i>Oposisi

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azyumardi Azra Rektor IAIN Syarif Hidayatullah SALAH satu kritik substansif yang sering dilontarkan pemikir modern Islam terhadap konsep dan praksis politik negara-negara muslim—khususnya pada zaman Klasik dan Pertengahan—adalah penekanan yang kuat pada kepatuhan dan ketundukan (itha'ah) kepada penguasa, seperti khalifah atau sultan. Akibatnya, hampir tidak ada ruang bagi rakyat untuk berbeda pendapat (dissent), apalagi beroposisi dengan penguasa. Dominannya konsep dan praktek politik seperti itu dalam entitas politik muslim, bisa dipahami, membuat banyak orang pesimistis tidak hanya dengan masa depan oposisi, bahkan dengan demokrasi. Pesimisme itu semakin meningkat dengan kenyataan bahwa banyak negara muslim yang menampilkan penguasa tidak demokratis, otoriter, dan represif, yang tidak memberikan peluang kepada rakyat untuk berbeda dengan mereka. Pesimisme senada juga sudah lama didengar di Tanah Air. Sebagian besar dari 50 tahun terakhir politik Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Soekarno dan Soeharto juga ditandai dengan kekuasaan otoriter dan represif, yang menindas setiap orang yang berpikir dan bersuara beda. Ironisnya, Presiden Soekarno mendapat legitimasi dan justifikasi teologis dari Nahdlatul Ulama dengan pemberian tawliyah (wewenang dan kekuasaan) sebagai waliyul amri dharuri bi syaukah. Sedangkan Presiden Soeharto, meski tidak mendapat gelar seperti itu, khususnya sejak awal 1990 sampai kejatuhannya, menikmati dukungan hampir tanpa reserve, khususnya dari kaum ulama. Depotisme Soekarno dan Soeharto sering dijelaskan pengamat, seperti Ben Anderson, dalam kerangka dan praksis kekuasaan budaya Jawa. Menurut penjelasan ini, depotisme para penguasa disebabkan pandangan dalam budaya Jawa bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang sakral, yang diperoleh melalui wangsit dan bersifat personal. Karena itu, kekuasaan penguasa bersifat absolut dan tidak bisa dipersoalkan serta diganggu gugat. Tetapi, penting dicatat, kajian lebih mutakhir yang dilakukan sarjana dan peneliti seperti A.C. Milner, Mark Woodward, M.C. Ricklefs, dan Simuh, membuktikan bahwa absolutisme kekuasaan para penguasa yang kebetulan berasal dari etnis Jawa, termasuk Soekarno dan Soeharto, banyak bersumber dari absolutisme kekuasaan yang dirumuskan para pemikir politik (fiqh siryasah) muslim, seperti al-Mawardi dan Imam al-Ghazali. Sangat boleh jadi absolutisme kekuasaan dalam budaya Jawa telah ada sebelum datangnya Islam. Dengan demikian, setidaknya, absolutisme kekuasaan juga dominan menurut budaya Jawa. Karena itu, absolutisme Soekarno atau Soeharto sama sekali bukan sekadar reminiscent budaya Jawa, tapi juga berkaitan banyak dengan konsep dan praksis kekuasaan menurut pemikir politik Islam dan Abad Pertengahan. Kejatuhan Soeharto menghidupkan kembali optimisme bagi penciptaan Indonesia yang lebih demokratis. Dan ini sudah dimulai dengan kemunculan banyak partai, yang diikuti dengan pemilihan umum (pemilu) yang secara umum dapat dikatakan berlangsung relatif bebas, jujur, dan adil. Namun, karena pemilu tidak menghasilkan partai politik pemenang mutlak (absolute majority), pembentukan pemerintahan koalisi tampaknya sulit dihindari. Ditambah lagi dengan terjadinya kristalisasi calon presiden Megawati (PDI Perjuangan) dan B.J. Habibie (Golkar), pemerintahan koalisi yang akan terbentuk itu akan ditantang oleh koalisi partai oposisi. Dilihat dari perspektif pertumbuhan demokrasi yang autentik dan genuine, pembentukan pemerintahan gotong-royong yang melibatkan semua unsur partai politik terbesar seyogianya dihindari. Sebaliknya, jika satu koalisi partai politik seperti koalisi PDI Perjuangan berhasil menang dalam Sidang Umum MPR, koalisi partai politik lain seperti koalisi Golkar sepatutnya berada di luar, menjadi kekuatan oposisi. Begitu pula sebaliknya, jika koalisi Golkar yang menang, koalisi PDI Perjuangan menjadi oposisi. Untuk pertumbuhan demokrasi, evolusi kecenderungan dan perkembangan politik seperti ini, menurut saya, perlu dukungan konseptual, khususnya dari perspektif Islam. Sebab, pada akhirnya, realitas demografis yang ada, senang atau tidak, yang berkecimpung dalam politik sebagian besar adalah muslim, terlepas dari afiliasi partai politik mereka. Karena itu, dapat diasumsikan bahwa sedikitnya mereka dapat memegang dan terpengaruh konsep absolutisme kekuasaan, seperti yang ditawarkan para pemikir politik Islam. Konsep dan praksis absolutisme, menurut para pemikir Islam, bersumber dari kewajiban kaum muslimin untuk patuh dan tunduk bukan hanya kepada Allah dan Rasul, tapi sekaligus ulul amri, penguasa (Alquran, 3:32, 4:49). Namun, perlu segera dikemukakan, pemikir politik Islam klasik banyak berbeda pendapat tentang batas kepatuhan kepada penguasa, bahwa hal itu tidaklah mutlak, tetapi bersifat kondisional. Kepatuhan dan ketundukan itu terjadi hanya bila penguasa melaksanakan kekuasaannya sesuai dengan kepentingan dan mandat publik. Jika tidak, penguasa tersebut diperingatkan menurut prinsip al-amr bil ma'ruf wa I-nahy 'an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Di sini prinsip check and balance yang sangat penting bagi kepentingan demokrasi menemukan dasar yang kuat. Pada taraf lebih tinggi, jika penguasa tidak peduli dengan seruan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, pemikir politik, seperti Faidullah al-Maqdasi, menawarkan agar rakyat melakukan khuruj, yang secara harfiah berarti "keluar" untuk mengekspresikan perbedaan dengan penguasa. Jadi, khuruj adalah oposisi legal dan sah terhadap penguasa dan kekuasaan yang semena-mena. Khuruj berbeda dengan bughat, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Dengan demikian, khuruj dapat dikatakan sebagai "oposisi loyal" bukan untuk penumbangan kekuasaan. Khuruj dapat disamakan dengan mu'aridhah, oposisi dalam terminologi politik Islam modern. Walhasil, para politisi dan kekuatan politik muslim sepatutnya tidak ragu lagi untuk menjadi pihak oposisi, jika realitas politik menghendaki. Menjadi oposisi sangat penting dan terhormat dalam menumbuhkan real democracy di negeri ini. Sudah waktunya menemukan kembali, re-inventing oposisi politik muslim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus