Arswendo Atmowiloto
Mantan Pemimpin Redaksi Monitor
PORNOGRAFI, dalam kehidupan sosial, seperti pelacuran. Dinilai merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, menjijikkan, dan sesekali menjadi soal yang mengerikan. Mengerikan manakala diangkat sebagai soal yang hangat, diproyeksikan sebagai perkara gawat, dan kemudian, untunglah, sesaat kemudian tak ada yang diingat. Perkaranya gawat karena dihubungkan dengan kebebasan menerbitkan media saat ini.
Atau kegawatan teori konspirasi: ada pihak asing yang mau menghancurkan generasi muda Indonesia, sesuatu yang pernah terjadi sekitar tahun 1966, ketika komik yang dianggap porno dirazia bersama dengan mereka yang berambut gondrong dan bercelana panjang berlubang sempit atau berambut sasak serta berok mini. Sejak zaman izin penerbitan hanya dikuasai oleh yang bisa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, pornografi juga sudah ada. Sejak saat itu hingga sekarang, komik atau album cerita harus diperiksa kepolisian sebelum diterbitkan.
Banyak yang janggal, tak masuk akal, dan tak terselesaikan, karena ukuran pornografi sendiri juga tak jelas penerapannya. Yang masih berlaku adalah petunjuk yang dikeluarkan Direktorat Bina Wartawan Departemen Penerangan RI: gambar atau foto yang memperlihatkan adegan ciuman atau bersenggama dan memperlihatkan puting atau pusar. Sedemikian kakunya penerapan itu, sehingga majalah bulanan paling santun Intisari pernah kena peringatan karena memuat pola rompi antipeluru yang dikenakan Nancy Reagan, ibu negara Amerika Serikat. Majalah Berita TEMPO juga kena peringatan karena memuat kopi lukisan dari buku sangat kuno. Padahal, buku itu dipamerkan resmi dan terbuka untuk umum. Sementara itu, tabloid Monitor yang dikenal dengan jurnalisme lher tak pernah kena peringatan dan sanksi pornografi, hanya karena buah dada—bukan puting—dan paha tak masuk dalam kategori tersebut. Ini sekadar menunjukkan tidak akurnya merumuskan soal erotis dan cabul-tika.
Di Amerika, gambar atau foto termasuk tidak porno, asalkan ada teksnya dan tidak mengundang nafsu syahwat menyala—yang bagi pria ditandai dengan ereksi. Denmark sudah lama membebaskan persyaratan dan sensor. Dan dunia kaget sendiri karena penjualan barang-barang cabul—film, buku, dan kaset—menurun drastis. Rumusan melawan pornografi memang berbeda-beda, meski setuju bahwa pornografi bisa mempengaruhi akhlak remaja dan atau bisa mendorong kejahatan seks. Bahwa masalah pornografi kadang marak kadang tidak, itu semata-mata karena pornografi merupakan perkara paling mudah untuk memalingkan wajah dan perhatian.
Di Amerika, saat Perang Vietnam berlangsung, masalah pornografi digugat lagi, agar masyarakat tidak hanya membicarakan keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam dan agar masalah yang lebih serius—beredarnya obat bius serta korupsi di kalangan petinggi—terlupakan. Adalah Mr. Flynn, sebutan buat pendiri majalah Hustler, yang menelanjangi cara kerja "mengalihkan perhatian publik" ini. Hustler—berbeda dengan Playboy—tak mau memasang artikel canggih mengenai stereo atau tulisan-tulisan sophisticated. Membuang-buang halaman saja, pembaca maunya gambar telanjang, ya, telanjang saja. Kasus Hustler menarik karena persoalannya sampai ke tingkat mahkamah agung dan Mr. Flynn berhasil menang. Perkaranya bukan soal pornografi, melainkan kebebasan berbeda pendapat mengenai etika. Kalau ada orang yang mengatakan Hustler porno, ia juga berhak mengatakan bahwa orang tersebutlah yang "ngeres" otaknya, yang lagi "gatel".
Pornografi, dalam kehidupan pribadi, seperti jerawat. Ini adalah periode yang harus dilalui, merisaukan, perlu diwaspadai, tapi tak usah berlebihan. Masalahnya bukan pada jerawatnya itu sendiri, melainkan kenapa risau ada jerawat. Itu yang perlu diwaspadai. Dan kalau mau mewaspadai pornografi dalam media cetak juga tak terlalu sulit. Kalau mau berlebihan, ya, memanggil Sophia Latjuba, Inneke Koesherawati, Nano Riantiarno, atau Mujimanto Asmotaruno. Hal itu pasti menarik perhatian masyarakat dan mengeliminasi perhatian terhadap masalah yang lain. Kalau mau serius sedikit, tinggal ke kaki lima, sisakan waktu, borong majalah atau tabloid dengan jenis tulisan mengenai "aku diperkosa ayah sekeluar dari penjara", "perjakaku dilalap tante", … yang disertai foto yang diambil dari internet atau sejenisnya. Pemberitaan itu mengingkari unsur utama: data atau fakta yang menjadikan peristiwa. Unsur who (siapa) yang paling elementer pun "dicatut"; siapa nama yang terpampang itu dan adakah kesesuaiannya dengan yang diberitakan tak jelas. Belum lagi kapan, di mana, serta mengapa.
Mau lebih serius menggasak cabulgrafi—lebih jelas ukurannya dibandingkan dengan pornografi—juga gampang. Video compact disc cabul dijajakan di berbagai arah jalan dan harganya lebih murah daripada majalah. Atau stensilan bagus karangan--praktis semua_Enny Arrow. Itu jelas-jelas cabul, jelas-jelas ketahuan tempat beredarnya, dan jelas bagaimana mengambilnya secara kontinu—daripada susah, repot, dan salah alamat. Tindakan aparat keamanan dan tekanan masyarakat sangat bermanfaat untuk menghentikan penyebarannya, walau tidak mungkin bisa menghabisinya.
Yang lebih berharga pada era reformasi informasi ini, setiap kali terjadi perbedaan nilai, setiap kali terjadi perumusan nilai erotika yang berubah, setiap kali pula disadarkan bahwa dalam suasana demokrasi, kita selalu diingatkan agar belajar mendengar, melihat, dan membaca sesuatu yang tidak kita sukai, termasuk pelacuran dan jerawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini