Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA kandidat Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya periode mendatang menjadi saksi realitas politik yang kelam. Selain partai politik gagal mengorbitkan kadernya sendiri, pencalonan untuk jabatan penting ini diwarnai gencarnya "politik mahar" yang sangat tercela.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan baru belakangan berpaling ke Wali Kota Solo Joko Widodo alias Jokowi. Begitu pula Partai Keadilan Sejahtera, yang di ujung tenggat pencalonan mengusung Hidayat Nur Wahid, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Semula partai ini hanya mengelus seorang calon wakil gubernur yang sengaja dipersiapkan untuk dipinang partai lain.
Elite partai tampaknya punya motif terselubung sehingga menjatuhkan pilihan di saat mepet. PDI Perjuangan dan PKS menghabiskan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan calon inkumben, Fauzi Bowo alias Foke. Gagalnya PKS berkongsi dengan Fauzi menyemburatkan cerita tak sedap: sang kandidat terbentur besarnya "mahar" alias duit setoran yang harus disediakan untuk partai pengusung.
Tinggallah Partai Demokrat yang akhirnya menopang Foke. Dukungan partai besar ini sungguh mengherankan. Soalnya, Pak Gubernur selama ini dianggap tak berhasil mengatasi masalah kronis Ibu Kota, seperti banjir, kemacetan lalu lintas, keamanan, dan tata kota yang makin semrawut. Demokrat seolah-olah tak mempunyai kader yang lebih andal untuk membenahi Jakarta.
Mesin rekrutmen partai lain sama buruknya. PDI Perjuangan dan Partai Gerindra bahkan perlu mendatangkan Jokowi dari Solo. Golkar juga harus memanggil Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin untuk berlaga menjadi DKI-1, walau berisiko, lantaran ia sering dikaitkan dengan kasus suap Wisma Atlet. Pencalonan kedua tokoh ini juga kurang menghargai semangat Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Di situ jelas disyaratkan bahwa seorang calon kepala daerah harus dikenal sekaligus mengenal daerah yang akan dipimpinnya. Syarat ini bisa saja diterobos karena ukuran "mengenal" memang tak jelas.
Sikap pragmatis dan tamaklah yang menyebabkan partai seperti miskin kader sekaligus enggan merekrut figur bermutu dari luar. Partai terjebak pada praktek buruk, menjual tiket pencalonan kepala daerah miliaran rupiah. "Mahar" ini boleh jadi tak akan dicatat dalam keuangan partai. Jangan heran bila figur kredibel tapi kurang modal seperti ekonom Faisal Basri tak dilamar partai. Ia akhirnya masuk melalui jalur calon independen seperti halnya Hendardji Soepandji.
Besarnya biaya politik calon kepala daerah juga mengundang peran penyandang dana atau bohir. Merekalah yang menyediakan duit bagi calon serta setoran buat partai. Tentu sang cukong berharap pamrih setelah sang kandidat benar-benar terpilih. Itulah sebabnya, di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, praktek buruk ini dicegah lewat aturan ketat mengenai keuangan partai dan dana kampanye.
Kita pun sebetulnya punya aturan serupa, tapi tidak pernah ditaati. Partai bahkan tak pernah membeberkan laporan keuangannya. Padahal Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berlaku pula bagi partai karena ikut menikmati duit negara. Sikap tertutup ini tentu saja mencurigakan. Tak sedikit partai yang mampu membangun gedung megah, berkongres di hotel mewah, dan para pengurusnya kaya raya tanpa pernah membuka dari mana duitnya.
Bukan hanya sumbangan untuk partai, dana kampanye kepala daerah pun sudah diatur dalam undang-undang. Asal-muasal, jumlah, dan penggunaan dana ini juga diaudit oleh akuntan publik. Hanya, aturan ini gampang disiasati dengan cara menyamarkan jati diri, sebagai "hamba Allah", atau menggunakan nama orang lain ketika menyumbang. Karena itulah pengaturan yang lebih ketat untuk urusan ini, seperti dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, perlu disokong.
Transparansi dana politik sungguh penting, bahkan merupakan langkah awal mencegah korupsi. Sulit membayangkan partai yang tak jujur dan tak terbuka dalam urusan sumbangan akan mampu mengelola anggaran negara secara akuntabel. Begitu pula calon gubernur yang tidak terbuka soal dana kampanye. Siapa pun akan sulit percaya bahwa ia sanggup melawan godaan korupsi setelah terpilih.
Tak perlu menanti aturan baru untuk mengubah perilaku tercela ini. Masyarakat tentu lebih bersimpati kepada calon yang jujur, termasuk dalam soal "mahar". Buat siapa sebetulnya setoran itu, partai atau petinggi partai? Para calon tak perlu menutup-nutupi asal-muasal dana kampanye mereka. Faisal Basri, misalnya, tentu tak berkeberatan menyebutkan siapa saja penyumbangnya. Jokowi dan Hidayat Nur Wahid semestinya tak terjebak dalam permainan uang yang gelap dan mengundang rasa curiga masyarakat yang kian cerdas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo