Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKARA dugaan pemalsuan dokumen perlintasan yang ditangani Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya terasa janggal. Rochadi Iman Santoso, Kepala Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, terkesan dipaksakan menjadi tersangka dalam kasus yang sejatinya hanyalah kesalahan input data maskapai penerbangan itu. Ajaibnya, Rochadi langsung ditahan beberapa hari, meski belakangan penahanannya ditangguhkan.
Polisi dituntut bertindak profesional. Dalam proses penyidikan ini, semua saksi yang terkait jangan sampai dilewatkan, terutama anak buah Rochadi, si peng-input data yang kini menjalani tugas belajar di Australia. Rochadi, bekas Kepala Imigrasi Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, dituduh membuat dokumen palsu tentang kedatangan Toh Keng Siong. Sesuai dengan catatan Kantor Imigrasi, pengusaha properti warga negara Singapura itu datang ke Jakarta pada Agustus 2009 menggunakan maskapai penerbangan KLM Royal Dutch. Dokumen ini dituding palsu dan kedatangan Toh dianggap fiktif.
Penyidik seharusnya menguji fakta di lapangan dengan saksama. Toh Keng nyatanya memang datang ke Jakarta. Hanya, dia tidak menumpang KLM, tapi Tiger Airways. Ada kesalahan input nama maskapai pada dokumen imigrasi. Namun manifes penerbangan dan catatan hotel memastikan Toh ada di Jakarta pada hari itu. Dia bertemu dengan tim pengacara, membuat surat kuasa untuk pengaduan gugatan terhadap Gunawan Jusuf, pemilik perusahaan sekuritas Makindo. Singkatnya, pertemuan itu benar-benar terjadi.
Penegak hukum semestinya bisa membedakan pemalsuan dokumen perlintasan dan kesalahan input yang dilakukan petugas imigrasi. Kesalahan ini seharusnya tidak serta-merta dibebankan ke pundak Rochadi, yang berjasa membantu pengejaran dua buron Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang terjerat seabrek kasus suap, korupsi, dan pencucian uang, serta istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun, Nunun Nurbaetie, yang terbelit kasus cek pelawat untuk sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Bukti-bukti yang menguatkan bantahan Rochadi, yang kini dinonaktifkan, juga kudu dipertimbangkan polisi. Dari dokumen yang diperoleh Tempo, Manajer Tiger Airways Holding Limited Brian Pereira, dalam surat kepada pejabat imigrasi Indonesia pada 15 Maret lalu, memastikan pernah menerbangkan Toh dari Singapura ke Jakarta dan kembali ke Singapura pada 5 dan 6 Agustus 2009. Pereira juga menyebutkan nomor kursi Toh, yaitu 14-C dan 09-D. Clarence Yeo, Komisioner Otoritas Imigrasi Singapura, pada 12 Maret 2012 juga memberi konfirmasi kedatangan Toh ke Jakarta.
Penyidik juga tak boleh tutup mata dalam melihat kaitan perkara Rochadi dengan perseteruan perdata antara Gunawan Jusuf dan Toh Keng. Pengusaha Singapura itu menagih duitnya sebesar US$ 126 juta yang tertanam di Makindo, pada 2002. Tujuh tahun kemudian, Toh kembali menggugat, tapi terjegal. Keabsahan dokumen kedatangannya dipersoalkan polisi. Walhasil, kedatangannya dianggap fiktif, sementara surat kuasa Toh juga diragukan, dan otomatis upaya membawa sengketa utang ke pengadilan bisa macet prematur. Tentu saja ini sangat menguntungkan posisi Gunawan Jusuf.
Kesalahan teknis yang dilakukan anak buah Rochadi rasanya jauh dari unsur pelanggaran pidana. Kalau sampai polisi memaksakan kriminalisasi atas Rochadi, wajar jika publik lantas curiga: siapakah sponsor yang berkepentingan dan bisa diuntungkan di balik kasus ini? Guna menepis dugaan tak sedap itu, polisi hendaknya bersungguh-sungguh menangani perkara ini. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan, bukan demi pesanan siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo