Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Widjojanto
Ketua Dewan Pengurus YLBHI
SETELAH proses fit and proper test untuk memilih hakim agung usai, Panitia Kerja Komisi II DPR segera membuat keputusan dengan mengumumkan beberapa nama yang dinilai "layak". Bukan main. Dalam hambatan waktu yang sedemikian terbatas dan tuntutan yang kian kuat untuk segera memilih para calon, mereka berhasil menyelesaikan tugasnya. Tetapi, kalau hendak obyektif, keberhasilan itu juga harus disertai dengan beberapa catatan kritis, agar proses fit and proper test itu bisa memberikan kontribusi mendasar bagi kepentingan reformasi hukum secara menyeluruh.
Itu sebabnya, pernyataan awal yang harus diajukan, sejauh mana proses uji kelayakan dan kepatutan itu benar-benar patut dan layak secara kualitas. Apakah proses pemeriksaan silang yang hanya satu jam bisa menjadi dasar yang kuat untuk menguji integritas moral, visi, dan profesionalisme seorang calon hakim agung? Apalagi jika proses itu tidak disertai dengan informasi yang cukup untuk mengetahui secara utuh a-b-c-nya sang calon. Dalam proses pengujian itu secara jelas dapat terlihat bahwa para anggota dewan tidak mempunyai informasi yang memadai sehingga berbagai pertanyaan yang terlontar sangat tidak mendasar, sebagian tidak tuntas, sebagian lainnya agak "manipulatif", walaupun harus diakui sebagian pertanyaan lainnya cukup tajam. Sinyalemen tentang adanya pertanyaan "manipulatif" ini diajukan karena ada beberapa anggota dewan yang menyatakan dirinya sebagai mantan murid sang calon. Atau, justru memberi ruang yang sangat berlebihan pada calon untuk mengeksplorasi gagasan tanpa "berani" mempersoalkan secara tajam argumen-argumen itu, atau melacak "hidden agenda" di balik pernyataan sang calon hakim agung. Dari sini, timbul impresi yang sangat kuat, para calon yang didukung oleh kepentingan politik fraksi cenderung "dilindungi" melalui pertanyaan yang diajukan anggota dewan. Dalam perspektif lain, juga bisa terlihat bahwa pelibatan partisipasi publik tidak dilakukan secara luas dan sistematis. Akibatnya, dewan tidak bisa mendapatkan cukup banyak informasi dari masyarakat. Masih belum jelas betul, apakah ini disengaja atau sekadar keteledoran. Tetapi, jika melihat gelagat awal, saat proses fit and proper test hendak dilakukan secara tertutup, bisa diduga partisipasi publik itu hanyalah formalitas. Kalau itu yang terjadi, celakalah kita, lagi-lagi "ditipu" dengan political show ala parlemen. Tudingan untuk mempertanyakan itikad dan kejujuran dalam melakukan proses transparansi dalam seluruh tahapan uji kelayakan dan kepatutan ini juga perlu diajukan. Sebab, keterbukaan seharusnya tidak hanya dilakukan ketika proses eksaminasi, tetapi juga ketika parlemen melakukan proses penilaian. Kalau benar ada tiga kriteria penilaian berupa integritas moral, visi dan misi, serta profesionalisme, seharusnya juga diberitahukan kriteria serta pola pembobotan dan penilaian. Misalnya saja, apakah nilai pembobotan moralitas dan integritas akan sama dengan nilai profesionalisme. Ketidakterbukaan proses dan pola penilaian berpotensi menjadi ajang "politik dagang sapi". Kita tentu tak ingin dalam fit and proper test ini terjadi kasus seperti dalam rekrutmen Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Sebab, ada sinyalemen yang sangat keras, proses pemilihan tersebut hanyalah pembagian jatah-jatah partai. Berbagai tuduhan di atas kian mendapat dasar pembuktian faktualnya. Sebab, ternyata ada beberapa calon yang ikut diloloskan kendati sang calon tidak menunjukkan kemampuannya ketika menjawab pertanyaan anggota dewan. Bahkan, klarifikasi terhadap integritas moral tidak dijawab secara meyakinkan. Cukup banyak calon yang diloloskan oleh Panja Komisi II DPR menjawab tak tuntas, tak tegas, dan berputar-putar, ketika diajukan pertanyaan seputar suap dan kolusi. Sebagiannya masih menjustifikasi suatu pemberian dengan menggunakan dasar legitimasi bahwa hal tersebut hanyalah sebagai "hadiah" dan tak berkaitan dengan keputusan yang telah dilakukannya dalam memutus perkara. Ironis, tapi begitulah faktanya. Yang juga penting diperhatikan, apakah fit and proper test ini hanya hendak diletakkan sebagai bagian dari proses rekrutmen. Kalau itu yang terjadi, naif sekali. Proses uji kelayakan ini harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses reformasi yang menyeluruh di tubuh Mahkamah Agung. Karena itu, juga harus dirumuskan fungsi dan peran MA di masa mendatang. Apakah sekadar lembaga tertinggi pemutus perkara ataukah kita akan mendorong MA sebagai suatu lembaga yang kelak akan memimpin gagasan-gagasan pembaruan hukum yang secara sungguh-sungguh mengakomodasi keadilan yang hidup di masyarakat. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |