Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Veven Sp. Wardhana
Redaktur Pelaksana Refresh-INC di Gramedia-Majalah Online, Koordinator Program Media Watch Institut Studi Arus Informasi
DARI pelbagai protes masyarakat terhadap pemberitaan media massa, respons inkonvensional termutakhir yang tampak paling ''beradab" dilakukan para kiai NU di Jawa Timur terhadap harian Jawa Pos. Para kiai itu menyerukan kepada para nahdliyin agar memboikot koran terbitan Surabaya itu. Terjemahan boikot itu adalah: tak usah berhubungan, tak usah berlangganan, dan tak usah membaca hasil penerbitan pers itu.
Siapa pun boleh curiga bahwa aksi boikot ini merupakan kelanjutan dari ''serial konflik" antara Jawa Pos dan warga NU yang pernah terjadi. Terutama, pendudukan Barisan Serbaguna NU ke kantor redaksi Jawa Pos akibat salahnya pemberitaan edisi 6 Mei 2000, yang mencantumkan nama Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadisementara yang dimaksudkan adalah Hasyim Wahid, adik kandung Presiden Abdurrahman Wahidsebagai salah seorang yang terlibat kolusi-nepotisme. Jelaslah bahwa aksi boikot ini jauh lebih literacy dibandingkan dengan penculikan terhadap wartawan Menara (Kalimantan Timur), pemotongan jari seorang jurnalis di Medan, pembunuhan terhadap Udin di Yogya, penyetopan mata tayangan televisi, danyang fenomenal belakanganmenduduki kantor redaksi dan memaksakan pemuatan pernyataan maaf yang drafnya disodorkan para pelaku pendudukan. Setidaknya, dibandingkan dengan berbagai ragam dan varian komplain atau protes itu, aksi boikot ala kiai NU ini sama sekali tidak pernah melarang Jawa Pos terbit. Media boleh terbit, aksi boikot juga tak terhambat. Memang, sedikitnya ada dua macam musabab terjadinya protes masyarakat terhadap media, yang sama-sama bertitik tolak dari rasa dirugikannya suatu pihak karena pemberitaan. Pertama, pihak bersangkutan terugikan karena buruk dan belangnya terbongkar; sehingga untuk menutupi kemungkinan bau busuk itu media harus dibungkam: bredel perusahaannya, telepon pemimpin redaksinya, ancam redakturnya, serta aniaya dan lenyapkan nyawa jurnalisnya. Belakangan, di Sumatra Utara, terutama Medan, tak hanya soal kerugian karena terkuaknya kemungkinan bau busuk itu yang jadi soal, tapi media yang tidak tampak mendukung kembali beroperasinya PT Indorayon Inti Utama juga diburu-buru ''kelompok tak dikenal". Musabab kedua, pihak bersangkutan terugikan karena kurangnya akurasi pemberitaan dan minimnya profesionalitas jurnalis. Mereka hanya asal kutip, minim cover both side, tiada cek dan cek ulang, misleading atau menyesatkan, dan sejenisnya. Apa pun penyebabnya, langkah para kiai Jawa Timur itu jauh lebih terpuji. Tentu kita tetap berharap tata aturan hukum di negeri ini bakal bisa sesegera mungkin ditegakkan, sehingga masyarakat mempercayai lembaga peradilan (terhadap pers) atau arbitrase. Dan hak jawab pun tak lagi menjadi satu-satunya jawaban bagi ketidakpuasan atas pemberitaan sebagaimana termaktub dalam UU Pers No. 40/1999. Soal pemboikotan ini ternyata bukan semata dilakukan masyarakat terhadap media, pihak media massa pun juga bisa, malah sudah melakukan pemboikotan untuk tidak menulis suatu peristiwa. Para wartawan Surabaya sudah membulatkan tekad untuk memboikot berbagai aktivitas anggota DPRD Jawa Timur gara-gara mereka tersinggung dengan pernyataan Ketua DPRD. Rekan mereka di Bandung juga menyatakan hal yang sama, menyusul diculiknya wartawan Pikiran Rakyat oleh salah satu kelompok partai politik. Para kuli tinta yang bertugas di Istana Negara pun ogah meliput penandatanganan kesepakatan Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dan IMF setelah press room mereka dipindahkan ke halaman belakang Istana. Saat PDI Perjuangan menyelenggarakan kongres di Semarang, akhir April 2000, para wartawan juga mengeluhkan minimnya fasilitas di press roomtermasuk adanya keharusan membayar jika mempergunakan komputerseolah dengan kondisi macam itu mereka tak bisa menuliskan berita. Jauh-jauh hari sebelumnya, dalam Sidang Istimewa 11 November 1998, rekan mereka yang lain juga mengancam akan memboikot pemberitaan perihal sidang itu jika Panglima Angkatan Bersenjata saat itu, Jenderal TNI Wiranto, tidak meminta maaf atas perlakuan anak buahnya yang sempat mencederai tiga wartawan dalam sebuah bentrok aksi unjuk rasa. Pertanyaannya, untuk siapakah para wartawan itu bekerja. Sekadar untuk mengisi halaman penerbitannya yang juga memberi ruang untuk kapitalisasi karena pemasukan iklan itukah? Atau jika mereka tidak memboikot, adakah sesungguhnya mereka itu tidak lebih dari sekadar humas narasumber? Galibnya, jika media melakukan pemboikotan, sama artinya mereka mengingkari kebebasan pers. Jabaran makna dari kebebasan pers adalah representasi dari hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Kebebasan pers bukanlah privilege atau hak istimewa yang built in dalam diri media dan jurnalis. Ini lebih merupakan keniscayaan bagi hak publik. Karena hak warga, jurnalis mendapatkan tugas. Tentu, yang dimaksudkan dengan hak warga adalah yang bersangkutan dengan fakta sosial, bukan fakta personal. Soal selingkuh seksual para selebriti, itu fakta personal. Tak ada urusannya hak masyarakat dengan peristiwa individual. Lain soal jika artis itu kawin dengan seorang pejabat negara, sementara dana pesta perkawinan mereka didapat dari pajak atau uang sosial lainnya. Jika langkah memboikot pers ala kiai Jawa Timur itu bisa dianggap sebagai langkah beradab, langkah jurnalis dan media yang memboikot informasi sehingga informasi itu jadi dimonopoli dan didominasi jurnalis dan medianyasebagaimana selama ini pseudo-off the recordditerapkan, padahal informasi merupakan hak publik, maka aksi pemboikotan yang dilakukan para jurnalis itu bisa dikategorikan sebagai langkah tidak beradab. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |