Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Arah Demokratisasi

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meuthia Ganie-Rochman*) *) Sosiolog dari Universitas Indonesia. KEJATUHAN suatu rezim otoriter adalah suatu grand opening dari opera politik panjang yang akan dialami suatu negara. Sebagai suatu pembukaan, ia bercirikan harapan, tidak hanya pada para pemain, tapi juga pada konteks penyelenggaraan dan tindakan yang dilakukan secara berlebihan tapi dapat dibenarkan untuk momen semacam itu. Suatu bangsa yang berada pada momen euforia mempunyai harapan yang melambung tentang penyelenggaraan pemerintahan baru. Meskipun ciri-ciri grand opening dapat ditemukan di pelbagai belahan dunia, isi operanya dapat sangat berlainan. Dengan demikian, proses demokratisasi adalah jalan yang tidak terduga. Faktor yang mempengaruhi arah demokratisasi antara lain faktor eksternal seperti campur tangan negara lain, campur tangan melalui politik bantuan, atau demokratisasi global yang mengubah pandangan tentang hubungan negara dan masyarakat. Indonesia juga mengalami faktor ini dalam berbagai bentuknya. Prinsip good governance, misalnya, sudah masuk dalam hubungan bantuan pembangunan dan pinjaman luar negeri sejak awal 1990. Faktor lain yang paling sering disebut adalah sifat dan tingkat konsolidasi elite, yang bisa menentukan ke arah mana proses institusionalisasi berlangsung, serta tingkat keberhasilan proses pembaruan institusi. Di Indonesia, konsolidasi terhadap nilai-nilai demokrasi hanya terjadi sesaat, yaitu pada awal reformasi, yang dengan gencar dituntut oleh berbagai kelompok masyarakat. Malangnya, proses institusionalisasi demokrasi politik menjadi sangat tidak efektif dengan perpecahan elite politik. Faktor sosial ekonomi juga sering dipakai untuk menjelaskan arah demokratisasi. Jumlah golongan menengah dan yang terdidik merupakan faktor positif bagi demokratisasi. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih kebal terhadap berbagai usaha manipulasi politik. Masyarakat, salah satu faktor lain yang mempengaruhi arah demokratisasi, belakangan ini menjadi lebih luas pembahasannya dalam bentuk konsep masyarakat warga (civil society). Masyarakat warga adalah masyarakat dengan ciri-ciri (a) berorientasi pada prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang tidak mau didominasi oleh pemerintah dan bahwa masyarakat sendiri sumber perubahan; (b) terampil berorganisasi dengan prinsip demokratis; dan (c) berperilaku politik yang menghormati aturan dan bermoral. Tentu semua itu membutuhkan bentuk organisasi dan institusi tertentu yang menunjang orientasi dan perilaku di atas. Untuk menilai keberadaan masyarakat warga ini di Indonesia, kita tinggal melihat apakah etika, perilaku, organisasi, dan institusi dengan ciri-ciri di atas ada atau tidak. Pertanyaan yang lebih tepat: jika ada, seberapa besar pengaruhnya? Kita sudah melihat gerakan mahasiswa yang tidak pernah berhenti setelah kejatuhan Soeharto. Juga dapat dilihat tumbuhnya ribuan organisasi masyarakat baru, yang banyak di antaranya bertujuan menegakkan demokrasi dan good governance. Tentu saja ini merupakan hal yang positif bagi proses demokratisasi. Namun, apakah perkembangan ini telah menjamin proses berlangsungnya demokratisasi? Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Perkembangan organisasi sosial saat ini masih merupakan fragmen-fragmen dan belum tumbuh sebagai suatu institusi. Kedua, keberadaan masyarakat warga sendiri tidak mungkin dilepaskan dalam konteks kaitannya dengan negara. Ini berarti institusi penyambung masyarakat warga dengan negara sangat lemah. Misalnya, partai politik yang merupakan salah satu institusi penyambung itu ternyata dapat berkibar-kibar tanpa banyak memperhitungkan konstituen. Akuntabilitas bukan hanya prinsip yang asing pada pemerintah, tapi juga pada partai politik, bahkan pada banyak organisasi masyarakat. Ketiadaan prinsip ini merupakan persoalan serius bagi tumbuhnya demokrasi. Kembali kepada persoalan transisi itu sendiri. Transisi kepada bentuk yang lain membutuhkan proses pelembagaan. Di permukaan, tuntutan yang menonjol adalah hak-hak sipil dan penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, dalam prakteknya, hal ini menimbulkan kegelisahan bagi berbagai kelompok. Bentuk-bentuk tuntutan baru muncul ke permukaan. Transisi yang harus dialami Indonesia berlangsung pada situasi kesulitan ekonomi yang luar biasa, yang membuat negara lebih sulit menjaga legitimasinya. Di satu pihak, pemerintah ditekan oleh lembaga-lembaga internasional dan sebagian pengusaha untuk bertindak rasional, dalam arti menjaga tingkat pertumbuhan. Namun, di pihak lain, pemerintah baru tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari tuntutan dasar masyarakat miskin. Kekuatan ekonomi status quo juga tidak dapat disingkirkan begitu saja. Negara semakin menujukkan kelemahan karena beberapa sebab. Selain masalah keuangan, ada dua sebab utama lain, yaitu kepemimpinan yang ada saat ini tidak dapat menjaga soliditas institusi negara dan semakin dalamnya campur tangan partai-partai politik dalam institusi utama ini. Karena negara tetap merupakan sumber keuangan yang potensial, hal ini mempengaruhi kecenderungan para elite politik baru untuk melakukan transisi ekonomi. Gejala yang menonjol adalah, untuk mengamankan kepentingan kelompok sekaligus tidak kehilangan legitimasi, para elite politik meletakkan perhatian yang sangat besar pada wacana ataupun pelembagaan demokrasi formal. Hal ini untuk menutupi mandeknya proses perbaikan akuntabilitas dalam kekayaan publik ataupun demokratisasi ekonomi secara umum. Transisi ekonomi gagal, dan hal ini akan memakan energi, setidaknya keefektifan, demokratisasi politik. Lemahnya negara ini sangat berpengaruh pada arah demokratisasi. Perkembangan negatif pertama adalah munculnya institusi-institusi demokrasi yang tidak efektif, misalnya Mahkamah Agung, undang-undang, dan badan ombudsman. Negara juga tidak mampu membantu memecahkan konflik-konflik dalam masyarakat. Perkembangan negatif kedua adalah ketidakmampuan negara mengatur ekonomi ilegal. Memang hingga saat ini belum ada datanya, tapi dapat dibayangkan jumlahnya sangat besar. Sebagai perbandingan, di negara-negara industri (OECD) saja jumlahnya berkisar antara 7 dan 30 persen. Di Indonesia, ekonomi ilegal ini akan sangat mengurangi kemampuan negara melindungi golongan miskin ataupun memfasilitasi perekonomian. Namun, yang lebih menakutkan, yang ilegal akan menjadi kekuatan baru di bidang sosial dan politik. Melihat kondisi yang mengecilkan hati ini, proses demokratisasi hanya dapat diselamatkan dengan kompaknya elite mengatasi persoalan bangsa dan usaha yang lebih keras di pihak organisasi masyarakat untuk menjaga arah reformasi. Cukup sudah dunia opera sabun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus