Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reformasi telah melahirkan beberapa peraturan yang ramah hak asasi manusia.
Pada era Jokowi, penindasan terhadap kebebasan berpendapat ternyata masih berlanjut.
Pemerintah Jokowi harus lebih menghormati hak asasi manusia.
Fatia Maulidiyanti
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sudah lelah dengan kekerasan". Pernyataan mendiang Munir Said Thalib itu mewakili kegelisahan banyak orang yang menyaksikan kekejian rezim Orde Baru. Demi melanggengkan kekuasaan, pemerintahan Soeharto fasih menggunakan cara-cara bengis. Salah satunya dengan pembungkaman pendapat. Seseorang atau kelompok yang dinilai memiliki pandangan dan ekspresi anti-Orde Baru dilarang bersuara, diculik, atau bahkan dibunuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Munir itu tidak hanya mencerminkan kenyataan yang getir, tapi juga harapan akan lahirnya Indonesia yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk kemerdekaan mengutarakan gagasan. Kebebasan dan penghentian kekerasan lantas menjadi dambaan gerakan rakyat pada reformasi 1998.
Namun, 24 tahun setelah reformasi, apakah Indonesia sudah benar-benar menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi, terutama hak kebebasan berpendapat tanpa ancaman yang tidak perlu serta berlebihan? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan awali dengan menyoroti beberapa capaian sebelum menunjukkan sejumlah catatan serta saran perbaikan kepada Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya.
Setelah Reformasi
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, pemerintah mengesahkan beberapa peraturan yang ramah hak asasi, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga mengadopsi standar-standar hak asasi internasional, seperti meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada 2005. Dua peraturan ini secara gamblang menyatakan bahwa setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pemikiran.
Peraturan-peraturan yang digunakan Orde Baru untuk membatasi ekspresi pun dicabut. Salah satunya adalah pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi pada 1999.
Di tubuh aparat penegak hukum, beberapa peraturan baru yang kental nilai-nilai hak asasi diperkenalkan. Contohnya, Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa yang mewajibkan kepolisian melindungi, mengayomi, dan melayani penyampaian pendapat di muka umum.
Upaya-upaya itu memberikan sinyal positif kepada masyarakat yang sudah lelah dengan kekejaman. Sayangnya, kemajuan yang diharapkan belum menyeluruh. Beberapa peraturan usang, bermasalah, dan memberangus ide masih dipertahankan, seperti pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ada pula peraturan-peraturan baru yang tidak sejalan dengan hak asasi. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, kerap digunakan untuk membatasi secara berlebihan ekspresi-ekspresi damai dan bahkan penelitian ilmiah. Menurut SAFEnet, pada 2020 saja terdapat 64 kasus pemidanaan warganet yang menggunakan UU ITE. Bayangkan berapa besar jumlah kasus penyalahgunaan UU ITE jika ditambah dengan tahun-tahun lainnya.
Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penindasan berlanjut. Contohnya, Catatan Hari HAM 2021 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menemukan setidaknya 150 dugaan kasus kekerasan yang berkaitan dengan situasi kebebasan berekspresi. Kepolisian menjadi terduga pelaku kekerasan terbanyak dengan jumlah 100 kasus, yang meliputi pelarangan serta pembubaran paksa unjuk rasa damai, penangkapan sewenang-wenang peserta demonstrasi, penganiayaan, dan lain-lain.
Cara-cara pembungkaman baru juga muncul. Catatan Hari HAM 2021 menemukan setidaknya 42 kasus serangan digital yang ditujukan kepada masyarakat dalam bentuk peretasan, penyebarluasan informasi pribadi tanpa persetujuan, intimidasi, dan bentuk serangan siber lainnya.
Tanda-tanda kemajuan yang sempat dijanjikan di awal reformasi kini seolah-olah ambruk. Dengan demikian, jawaban atas kegelisahan di atas adalah Indonesia belum benar-benar menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, serta kita belum menikmati kebebasan berekspresi yang hakiki.
Merawat Kebebasan
Saya percaya bahwa merawat kebebasan dan menolak kekerasan patut selalu diupayakan. Lagi pula menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi akan memberikan lebih banyak keuntungan daripada kerugian bagi pemimpin-pemimpin negara ini.
Pemerintah dapat memulainya dengan menghentikan segala bentuk ancaman pidana terhadap orang-orang yang menyatakan pendapat secara damai. Gagasan ini dapat diikuti dengan membebaskan orang-orang yang dipenjara hanya karena berekspresi secara damai. Jika saran-saran ini diterima, pemerintah setidaknya dapat mencegah bertambahnya permasalahan terkait dengan penjara yang sudah sumpek.
Lebih jauh lagi, pemerintah dapat mencabut atau merevisi peraturan-peraturan yang menimbulkan ketakutan untuk berpendapat, seperti UU ITE. Jika masyarakat mampu berekspresi tanpa rasa takut, keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan dapat meningkat. Peningkatan partisipasi tersebut dapat mengurangi beban kerja pemerintah dan menghindari risiko-risiko ketidakpuasan yang dapat berujung pada ketidakstabilan. Bila pemerintah melakukan saran-saran di atas segera dan tanpa syarat, saya percaya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah akan meningkat.
Dapat disimpulkan bahwa, meski 24 tahun setelah reformasi terdapat beberapa kemajuan dalam demokrasi dan hak asasi manusia, pekerjaan rumah kita juga masih banyak. Di arena kebebasan berpendapat saja masih ada peraturan lama dan baru yang menindas ekspresi damai dengan cara-cara lawas dan anyar. Aparat penegak hukum pun tampak belum siap membenahi diri.
Upaya-upaya merawat kebebasan dan menolak kekerasan tidak boleh berhenti. Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah konkret, seperti menghentikan kriminalisasi, membebaskan tahanan nurani, dan merevisi UU ITE, demi mewujudkan Indonesia yang lebih manusiawi. Ini karena—dengan sedikit memodifikasi pernyataan Munir di awal tulisan—sejatinya kita semua sudah lelah dengan kekerasan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo