Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYAMPANG menunda pengangkatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya Presiden Joko Widodo menjadikan kasus ini momentum membersihkan Kepolisian dari aparat bobrok. Ia perlu segera mengirimkan nama sejumlah kandidat Kapolri lain ke Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk ditelisik. Langkah ini penting guna menghindari risiko memilih calon yang buruk rekam jejaknya.
Memang susah mencari calon Kapolri yang sempurna. Ingat sebuah lelucon: hanya Kapolri Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur yang benar-benar bersih. Karena itu, Jokowi seharusnya bisa menakar kandidat lain yang disodorkan Komisi Kepolisian Nasional. Ada sederet jenderal berbintang tiga yang juga diusulkan, antara lain Badrodin Haiti (Wakil Kepala Polri), Dwi Priyatno (Inspektur Pengawasan Umum), Suhardi Alius (Kepala Badan Reserse Kriminal, belakangan menjadi Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional), dan Putut Eko Bayuseno (Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan).
Sederet nama alternatif itu penting dipersiapkan. Praktis peluang Budi, tersangka kasus suap dan gratifikasi yang kondang dengan istilah "rekening gendut", sudah pupus. Belum pernah terjadi kasus korupsi tak diproses hingga ke pengadilan. KPK tak mengenal kamus penghentian penyidikan, sebagaimana bisa terjadi di Kepolisian dan Kejaksaan.
KPK tak perlu ragu meski Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menyimpulkan transaksi Budi tidak bermasalah. Tudingan bahwa KPK telah bermain politik—karena menetapkan Budi sebagai tersangka tiga hari setelah ia ditetapkan menjadi calon Kapolri—cukuplah menjadi bahan evaluasi internal dan tak boleh mempengaruhi penyidikan. KPK justru harus menjawab kecurigaan dengan mengusut sejumlah perwira tinggi lain yang masuk catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Percepatan pengusutan kasus Budi akan mencegah Kepolisian dipimpin jenderal bermasalah. Jika itu terjadi, kerja Kepolisian tak akan efektif. Komitmen polisi terhadap pemberantasan korupsi, sebagai salah satu tugas utama Polri, akan diragukan banyak orang. Belum lagi ancaman munculnya pertikaian antara polisi dan KPK, seperti dalam kasus "cicak versus buaya" pada 2009.
Langkah Jokowi menunda pelantikan Budi—bukan mencoretnya dari daftar calon Kapolri sejak jauh-jauh hari—memang tak ideal dan terasa dilakukan untuk menyenangkan semua pihak. Dewan Perwakilan Rakyat diberi kesempatan memberikan persetujuan. Mantan presiden Megawati, yang ngotot memperjuangkan Budi, diharapkan happy. Ketegangan politik bisa sedikit kendur.
Langkah "main aman" Jokowi ini harus dimanfaatkan KPK. Komisi antisuap mesti bekerja keras memproses perkara yang disangkakan kepada Budi Gunawan. Mereka yang menyuap juga harus ditelisik. Sejumlah petinggi Kepolisian ditengarai mengirim uang ke rekening Budi sebagai "syarat" agar dimutasikan ke tempat yang "basah".
Selama penyidikan berlangsung, Kepolisian hendaknya bersikap kooperatif. Tak boleh ada upaya menghalang-halangi, misalnya, ketika penyidik KPK berniat menggeledah dan menyita aset Budi. Jika pemberkasan sudah dirasa cukup, komisi antikorupsi tak perlu ragu menahan Budi. Presiden wajib menjamin keamanan para penyidik KPK.
Selama proses hukum ini berjalan, Jokowi tak boleh sedetik pun berpikir, apalagi nekat, menyiapkan draf keputusan presiden untuk Budi Gunawan. Langkah ini akan melukai rasa keadilan masyarakat. Apa kata dunia jika Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memilih kepala polisi yang sedang disidik lembaga antirasuah. Tindakan ini bertentangan dengan cita-cita luhur yang dia kumandangkan bersama Jusuf Kalla selama masa kampanye dulu. Mereka menjanjikan reformasi penegakan hukum yang bebas korupsi. Janji ini terpampang dalam program pertama dari sembilan jargon bernama Nawacita.
Dua kali sembrono dalam urusan mencalonkan pejabat penting lembaga penegak hukum harus dijadikan pelajaran berharga bagi Jokowi. Blunder sebelumnya dilakukan Jokowi ketika memilih Jaksa Agung Prasetyo, yang selain tak punya prestasi kinclong juga tak independen dan integritasnya diragukan. Budi disokong penuh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, sementara Prasetyo didukung Surya Paloh, figur sentral Partai NasDem.
Penundaan pelantikan Budi Gunawan harus berujung pembatalannya sebagai Kapolri. Hanya dengan cara ini, komitmen Jokowi memberantas korupsi dipercaya orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo