Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Agama tak terpisah dari politik

Agama tidak terpisah dari politik. paus boniface viii bukan tokoh dengan watak rohaniawan, tapi terlatih dalam hukum. perayaan tahun 1300 ditandai dengan 2 pedang, perlambang pemegang kekuasaan rohani & politik.

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Socrates dihukum mati, seorang muridnya yang berumur 21 tahun tambah yakin: ia tak menyukai demokrasi. Murid itu, Plato, kemudian pergi mengembara. Athena mencurigainya. Konon ia sampai ke Mesir. Di negeri tempat piramida dibangun dengan megah itu, ia merasa minder: Yunani, tanah airnya, di sini hanya dianggap negeri baru, tanpa tradisi kokoh. Dan diam-diam Plato pun kagum. Ia memandang sphinx dengan kepala tegak dan senyum bijak di sepanjang Nil, dan melihat bahwa di negeri theokratis ini hukum begitu tertib. Negeri di abad 400 Sebelum Masehi itulah yang kemudian jadi ilham ketika ia menulis risalah tentang "Republik yang dicita-citakannya. " Republik Plato kemudian termashur sebagai rancangan negeri impian yang klasik. Tapi jangan salah sangka karya ini tak berpangkal dari anggapan bahwa manusia sendiri adalah makhluk impian. Justru sebaliknya. Keadilan akan merupakan masalah bersahaja seandainya manusia itu makhluk yang bersahaja. Sayangnya, kata Plato, dalam kenyataan, manusia tidak demikian. Banyak contoh keserakahan dan iri hati. Dan tak kurang pula ketidak-bijakan. Maka tercetuslah kata-katanya yang termashur berahad-abad, bahwa "sebelun filsuf menjadi raja, . . . dan kebijaksanaan serta kepemimpinan politik bertemu dalam diri satu orang . . . negeri tak akan selesai dirundung derita begitu juga umat manusia." Rancangan Utopianya lalu ia mulai dengan sejenis "revolusi". Di ujung 1979 ini kita mungkin akan membaca Republik dan teringat akan Pol Pot 2000 tahun lebih sebelum pemimpin ganas dari Kambodia itu, Plato telah menganjurkan agar seluruh penduduk kota diusir saja ke udik, kecuali mereka yang berumur di bawah 10 tahun. Anak-anak ini kemudian harus dididik, terbebas dari kebiasaan orangtua mercka. Latihan jasmani sangat penting, begitu juga musik -- tapi jangan berlebihan. Sebab untuk menjadikan anak-anak cuma jadi atlet akan sama artinya dengan menyulap mereka cuma jadi keIompok yang brutal. Sebaliknya untuk jali doyan musik saja mereka bakal lembek. Lagipula musik, dalam Republik Plato, harus hanya musik yang "berisi", bukan yang melemahkan akal dan semangat. Pada dasarnya memang pendidikan macam itu berintikan sikap menahan diri. Sebab akhirnya anak-anak ini calon elite yang akan memerintah Republik sebagai "wali penjaga" -- harus menjalani hidup yang bersemangat noblesse oblige: Sebagai pemimpin mereka tak boleh punya rumah pribadi, bahkan tak boleh menyintuh emas. Mereka dilatih untuk menggumuli olah berpikir dan kebijaksanaan. Maka struktur politik Republik impian itu pun berpucuk pada satu klas kecil "wali". Mereka dilindungi sejumlah besar klas prajurit dan "pembantu". Di bawah mereka hidup penduduk yang bertani, berdagang dan mengusahakan industri. Klas ekonomi ini tetap punya hak milik dan keluarga pribadi. Namun perdagangan serta industri diatur oleh para "wali penjaga", untuk menghindarkan kekayaan atau kemelaratan yang berlebihan. Bunga pun dilarang, laba pun dibatasi. Hanya terus impiankah Republik Plato ini? Ternyata tidak. Setiap revolusi nampaknya mencoba meraihnya. Tapi lebih dari itu, selama seribu tahun Eropa di Abad Tengah praktis hidup dengannya. Di atas kaum tani yan bekeria, ada klas prajurit, dan di pucuknya berkuasalah oratores. Para rohaniawan ini, seperti halnya para "wali penjaga" Republik Plato, memimpin bukan karena pilihan rakyat, tapi karena kemampuan mereka dalam administrasi dan studi keagamaan. Riwayat kemudian juga cukup banyak bercerita bagaimana raja-raja Eropa harus mencari pemberkatan Gereja. Sekitar 100 tahun setelah Paus Gregorius VII mengalahkan Raja Heinrich IV di Canossa, Paus Boniface VIII muncul. Ia terlatih di bidang hukum tapi sebenarnya bukan tokoh yang punya watak rohaniawan. Perayaan tahun 1300 ia tandai dengan dua pedang: itulah lambang, bahwa dia pemegang kekuasaan rohani dan juga pengendali politik. Boniface VIII tentu saja bukan akhir yang bahagia. Tapi nampaknya ada juga pelajaran yang bisa dipetik: agama tak perlu berpisah dari politik, namun perluiiah kekuasaan seorang begitu tak terbatas?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus