KETIKA Socrates dihukum mati, seorang muridnya yang berumur 21
tahun tambah yakin: ia tak menyukai demokrasi. Murid itu,
Plato, kemudian pergi mengembara. Athena mencurigainya.
Konon ia sampai ke Mesir. Di negeri tempat piramida dibangun
dengan megah itu, ia merasa minder: Yunani, tanah airnya, di
sini hanya dianggap negeri baru, tanpa tradisi kokoh. Dan
diam-diam Plato pun kagum. Ia memandang sphinx dengan kepala
tegak dan senyum bijak di sepanjang Nil, dan melihat bahwa di
negeri theokratis ini hukum begitu tertib. Negeri di abad 400
Sebelum Masehi itulah yang kemudian jadi ilham ketika ia menulis
risalah tentang "Republik yang dicita-citakannya. "
Republik Plato kemudian termashur sebagai rancangan negeri
impian yang klasik. Tapi jangan salah sangka karya ini tak
berpangkal dari anggapan bahwa manusia sendiri adalah makhluk
impian. Justru sebaliknya. Keadilan akan merupakan masalah
bersahaja seandainya manusia itu makhluk yang bersahaja.
Sayangnya, kata Plato, dalam kenyataan, manusia tidak demikian.
Banyak contoh keserakahan dan iri hati. Dan tak kurang pula
ketidak-bijakan.
Maka tercetuslah kata-katanya yang termashur berahad-abad,
bahwa "sebelun filsuf menjadi raja, . . . dan kebijaksanaan
serta kepemimpinan politik bertemu dalam diri satu orang . . .
negeri tak akan selesai dirundung derita begitu juga umat
manusia."
Rancangan Utopianya lalu ia mulai dengan sejenis "revolusi".
Di ujung 1979 ini kita mungkin akan membaca Republik dan
teringat akan Pol Pot 2000 tahun lebih sebelum pemimpin ganas
dari Kambodia itu, Plato telah menganjurkan agar seluruh
penduduk kota diusir saja ke udik, kecuali mereka yang berumur
di bawah 10 tahun.
Anak-anak ini kemudian harus dididik, terbebas dari kebiasaan
orangtua mercka. Latihan jasmani sangat penting, begitu juga
musik -- tapi jangan berlebihan. Sebab untuk menjadikan
anak-anak cuma jadi atlet akan sama artinya dengan menyulap
mereka cuma jadi keIompok yang brutal. Sebaliknya untuk jali
doyan musik saja mereka bakal lembek. Lagipula musik, dalam
Republik Plato, harus hanya musik yang "berisi", bukan yang
melemahkan akal dan semangat.
Pada dasarnya memang pendidikan macam itu berintikan sikap
menahan diri. Sebab akhirnya anak-anak ini calon elite yang akan
memerintah Republik sebagai "wali penjaga" -- harus menjalani
hidup yang bersemangat noblesse oblige: Sebagai pemimpin mereka
tak boleh punya rumah pribadi, bahkan tak boleh menyintuh emas.
Mereka dilatih untuk menggumuli olah berpikir dan kebijaksanaan.
Maka struktur politik Republik impian itu pun berpucuk pada satu
klas kecil "wali". Mereka dilindungi sejumlah besar klas
prajurit dan "pembantu". Di bawah mereka hidup penduduk yang
bertani, berdagang dan mengusahakan industri. Klas ekonomi ini
tetap punya hak milik dan keluarga pribadi. Namun perdagangan
serta industri diatur oleh para "wali penjaga", untuk
menghindarkan kekayaan atau kemelaratan yang berlebihan. Bunga
pun dilarang, laba pun dibatasi.
Hanya terus impiankah Republik Plato ini?
Ternyata tidak. Setiap revolusi nampaknya mencoba meraihnya.
Tapi lebih dari itu, selama seribu tahun Eropa di Abad Tengah
praktis hidup dengannya. Di atas kaum tani yan bekeria, ada
klas prajurit, dan di pucuknya berkuasalah oratores. Para
rohaniawan ini, seperti halnya para "wali penjaga" Republik
Plato, memimpin bukan karena pilihan rakyat, tapi karena
kemampuan mereka dalam administrasi dan studi keagamaan.
Riwayat kemudian juga cukup banyak bercerita bagaimana raja-raja
Eropa harus mencari pemberkatan Gereja. Sekitar 100 tahun
setelah Paus Gregorius VII mengalahkan Raja Heinrich IV di
Canossa, Paus Boniface VIII muncul. Ia terlatih di bidang hukum
tapi sebenarnya bukan tokoh yang punya watak rohaniawan.
Perayaan tahun 1300 ia tandai dengan dua pedang: itulah lambang,
bahwa dia pemegang kekuasaan rohani dan juga pengendali politik.
Boniface VIII tentu saja bukan akhir yang bahagia. Tapi
nampaknya ada juga pelajaran yang bisa dipetik: agama tak perlu
berpisah dari politik, namun perluiiah kekuasaan seorang begitu
tak terbatas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini