TUHAN berkata, "Kun fayaqun." Yang tiada pun jadi ada.
Manusia tahu betul bahwa ia bukan Tuhan, tapi sejak sekitar
30-an tahun yang lalu hingga sekarang kesabaran dan kearifan
bukan selalu jadi cirinya. Para pemimpin negeri baru, begitu
terbebas dari penjajahan, begitu mereka ingin mengucapkan
sejenis isim isim dengan harapan: yang tiada akan
"jebrol!"--ada.
Seandainya itu mungkin, di Dunia Ketiga ini pastilah akan
berjubel apa yang tadinya tidak ada: pabrik besar, hotel besar,
supermarket besar, mobil besar, bedil besar di samping, mungkin
juga, pabrik bola golf tipe mutakhir, pusat komputer TV
berwarna, laboratorium obat anti-kolesterol.
Bukan cuma keserakahan yang menyebabkan itu. Ketika kita baru
merdeka dulu, kita ingin jadi terhormat di dunia internasional.
Tapi "terhormat" telah disama-artikan dengan suatu simbul status
tertentu: mempunyai industri berat, bangunan memuncak dan
stadion olahraga yang megah. Bahkan Bung Karno, yang oleh
sejarawan Onghokham dalam Prisma nomor Agustus yang lalu disebut
sebagai seorang pro-populisme, tak lepas juga dari tendensi itu.
Suatu paradoks, bahwa nasionalis besar ini akhirnya tak jauh
dari ucapan sosialis-demokrat Sjahrir: "Setiap pemuda yang
bersemangat harus melihat ke Barat."
Memang, bagi Bung Karno, juga bagi Sjahrir dan sebagian besar
pemimpin-pemikir Indonesia lain, yang harus dielakkan dari
"Barat" hanyalah sistim kapitalisnya. Bukan kementerengan
teknologinya. Mungkin tak mereka sadari bahwa teknologi yang
mentereng itu juga punya jebakan. Ams utama perkembangan
teknologi hingga saat ini cenderung untuk membikin alat yang
kian lama kian rumit dan seringkali juga kian mahal. Pada
akhirnya seorang pemakai akan selalu terdorong untuk
memperbaharui alatnya. Artinya, ia akan kian tergantung.
Terutama bila ia cuma seorang pembeli, bukan seorang pembuat,
dan seorang yang tak sabar hingga pembangunan atau modernisasi
baginya bisa dicangkokkan.
Tapi modernisasi bukanlah suatu creatio ex nihilo -- ciptaan
yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Modernisasi
memerlukan juga kerendahan hati. Pada suatu hari beberapa tahun
yang lalu Perdana Menteri India mengundang seorang ahli ekonomi
Inggeris datang. Ia minta nasihat tentang pembangunan pedesaan.
Sang ahli ekonomi pun berjalan ke seantero negeri. Di situ ia
menemukan satu cetusan ide. Di negeri berkembang, begitu
kesimpulannya, di satu pihak ada teknologi yang begitu rendah
hingga para pemakainya tak dapat hidup kecuali dalam kemiskinan
panjang. Di pihak lain, terpajang teknologi tinggi dari si kaya
yang tak terjangkau oleh si miskin. Sang ekonom Inggeris pun
balik ke New Delhi dan menawarkan fikirannya: India memerlukan
teknologi madia.
Ia tak diterima. "Saya dituduh imperialis, seorang fasis,
seorang rasis, seekor hewan yang datang ke Ind ia untuk menjaga
agar negeri itu tetap melata dan tak mau mengulurkan ....
kemegahan teknologi modern," demikian sang ekonom itu ke mudian
bercerita. Ia marah, dan ia pulang.
Tapi untunglah bahwa ia tidak cuma ngambek. Di tahun 1973 ia
menerbitkan sebuah buku yang kemudian menyebabkan ia tersohor
dan berpengaruh: Small is Beautiful--"Kecil itu Indah". Ia
adalah E.F. Schumacher.
Fikiran dasar Schumacher sebenarnya tidak baru. Salah satu baris
bukunya mengutip Gandhi: "Bumi cukup persediaan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, tapi tak akan cukup untuk memenuhi
keserakahan kita." Jasa Schumacher ialah bahwa ia
mengumanclangkan itu sekali lagi, tepat di saat dunia modern
tengah mulai sadar akan batas kapasitasnya. Dan ia disambut
ramai.
Mungkin karena ia juga menawarkan alternatif yang tak mustahil,
hingga ketika ia meninggal pekan lalu, yang menghibur ialah
bahwa ia telah berbicara, berbuat dan tak lagi sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini