Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari kolong meja ke ombudsman ?

Operasi tertib yang digerakan sudomo berhasil menarik simpati. beberapa kalangan sangsi, operasi akan mengendor. perlu dibentuk ombudsman untuk memperkuat lembaga ini.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang di kolong meja Ada yang ditengah jalan Ada yang memang sengaja Ditaruh dalam lipatan -- Benyamin S., "Pungli." *** RUPANYA penyanyi lagu-lagu Betawi itu sudah pula ikut kampanye memberantas pungli. Maka kaset produksi Remaco itu pun, akhir Agustus kemarin dapat penghargaan dari Departemen Hankam. Dan itu juga tanda, bahwa Operasi Tertib (Opstib) antipungutan-liar dapat dukungan dari orang ramai. Opstib memang sudah mulai tampak hasilnya. Kepada Komisi I dan II DPR, pekan lalu Sudomo menyatakan "telah berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 20 milyar." Itu baru hasil operasi di jalan-jalan raya. Selain menggerakkan Opstibda yang sudah mulai dibntuk di daerah-daerah, Sudomo sendiri juga mengirim 5 7 perwira untuk mengawasi jembatan-jembatan timbang di Jawa. Dari pengawasan di jembatan timbang itu saja, terdapat kenaikan pendapatan pemerintah secara menyolok - sekitar Rp 40,8 juta sebulan. Di Jawa Barat naik 52,5%, Jawa Tengah 61,5% dan Jawa Timur 22,8%. Di lain fihak, tak sedikit pula sumber penghasilan daerah bersumber dari macam-macam pungutan, sehingga Mendagri Amirmachmud mengizinkan merubah APBD. Di kotamadya Balikpapan misalnya, ada 18 macam pungli sebagai sumber pendapatan daerah. Kalau ke 18 pungutan itu dihapus maka sekitar Rp 142 juta (10% dari APBD) akan hilang. Belum lagi 10 Peraturan Daerah yang belum disahkan Gubernur atau Mendagri, yang menghasilkan hampir p 300 juta (25% dari APBD). Menurut Feisal Tamin, Ka Humas Depdagri, kini segala macam pungutan di daerah sedang diinventarisir. Kemudian diklasifikasi, mana yang pungli, mana yang pungutan resmi dan sah. Betapa pun, Opstib jalan terus. Beberapa pejabat telah diambil tindakan. Bupati Tegal, Smn, karena terlibat pungli Tebu Rakyat Intensifikasi, dikenakan tahanan kota. Seorang direktur dalam lingkungan Departemen Perdagangan dipecat, empat pejabat lain diskors. Begitu pula Komandan Kapal SAR Laut dan petugas KPLP Tanjung Priok. Saya Pertaruhkan . . . Minggu lalu Opstibda Ujungpandang menindak petugas bandar udara Hasanuddin. Dan sebelumnya dalam sebuah pendadakan di bandar udara Halim Perdanakusuma, Sudomo berhasil 'memaksa' seorang petugas wanita yang oleh orang ramai dijuluki "Ratu Pungli" untuk mengaku. Itu serangkaian operasi yang oleh Sudomo disebut 'kejutan'. Gerakan itu memang berhasil menarik simpati. Dan Presiden Soeharto minggu lalu, menginstruksikan agar Opstib diteruskan sampai aparatur Pemerintan benar-benar bersih - memanfaatkan momentum kegairahan masyarakat. Simpati itu juga datang dari Jenderal (Purn) A.H. Nasution, bekas ketua MPRS yang di tahun 60-an merasa gagal melancarkan Operasi Budhi memberantas korupsi. Semula Nasution sangsi. "Tanpa sistem dan konsepsi biar lima tahun operasi hasilnya akal begitu-begitu saja," katanya mula-mula. Kontan Sudomo menjawab, berusaha meyakinkan kemantapan gerakannya. "Berikan kesempatan cukup kepada saya sebagai generasi penerus dari Jenderal Nasution untuk mencapai hasil yang lebih baik," katanya. Berulang-ulang menegaskan bahwa Opstib pada akhirnya juga akan menjangkau sampai tingkat atas, Sudomo menegaskan "saya pertaruhkan segala-galanya." Dan Laksamana ini tampaknya memang membutuhkan dukungan moril. Juga dari mahasiswa. Meskipun Lukman Hakim, ketua DM UI, tak begitu bergairah. Baginya, "Opstib cuma gerakan sepotong-sepotong, tidak integral." Ketika suatu hari bertemu dengan Laksamana itu, Lukman bilang: "Opstib bisa jalan terus Pak. Tapi suatu saat nanti akan terbentur tembok tebal dan stamina Bapak akan mengendor." Sudomo bertahan. "Tidak, saya tidak mainmain. Saya pertaruhkan kedudukan dan empat bintang saya. Kalau gagal saya mundur," kata Sudomo seperti diceritakan Lukman. Tapi kesangsian terhadap kelanjutan Opstib, diakui atau tidak, memang ada. Misalnya seperti yang disinyalir oleh Slamet Danusudirdjo, ketua Tim Walisongo di Press Club pekan kemarin menyambut ikrar 90 pengusaha EMKL memberantas pungli. Menurut Slamet, usaha seperti yang kini dilancarkan Opstib itu sudah sejak lama dilancarkan, "oleh kabinet demi kabinet, oleh kekuatan politik demi kekuatan politik," katanya. "Memang banyak rakyat yang sangsi terhadap usaha mencapai pemerintahan yang bersih. Dalam hati kecil kita masing-masing bertanya, ini benar akan jalan terus apa nggak. Ya kalau ya, kalau saya sendiri jalan memberantas pungli, bagaimana yang lain?" katanya. "Sejarah membuktikan bahwa kita ini selalu panas-panas tahi ayam," tambahnya. Secara tak langsung Slamet menilai, Opstib yang sekarang ini lain daripada yang lain. Cowboy Yang tampaknya bisa menenteramkan hati Sudomo tentulah pendapat S. Tasrif SH, advokat terkemuka anggota Peradin Jakarta. Menurut Tasrif, Sudomo ibarat seorang cowboy yang masuk daerah kacau untuk memulihkan ketertiban dan mengembalikan kewibawaan sheriff. Sesudah berhasil, si cowboy mundur. "Jadi dalam keadaan tidak normal dan belum stabil, ada kalanya diperlukan tindakan tegas dan segera," katanya. Itulah sebabnya, lembaga seperti Kopkamtib menurut Tasrif bisa saja melakukan hal itu. "Sebab lembaga itu dibentuk berdasarkan TAP MPR No. XI 1973. Jadi ada dasar hukumnya," tambahnya. "Dengan TAP tersebut, MPR memberi wewenang luar biasa kepada Presiden yang kemudian dilimpahkan kepada Kopkamtib. Jadi kalau suatu saat Sudomo memecat di tempat, bisa diterima." Tapi ada syaratnya: semua tindakan Opstib harus dipertanggungjawabkan kepada DPR, lewat Presiden. Sedapat mungkin, memang melalui mekanisme yang normal hingga lembaga-lembaga yang ada tetap berfungsi. "Tapi bukankah Sudomo sendiri tidak langsung memecat, melainkan minta kepada atasan pejabat yang bersangkutan untuk bertindak?" kata Tasrif lagi. Dengan kata lain, Sudomo masih menghargai hirarki. Apalagi menurut Sudomo, Opstib hanyalah membantu departemen-departemen untuk melakukan penertiban. Dan dalam instruksi Presiden yang terbaru No. 9/1977 ditentukan bahwa koordinasi pelaksanaan Opstib ditugaskan kepada Menteri Negara PAN, sementara Kaskopkamtib "membantu Departemen/Lembaga pelaksananya secara operasionil apabila diperlukan". Adalah Tasrif yang am.at gembira mendengar gagasan Sudomo membentuk ombudsman. "Dulu Peradin pernah mengusulkan membentuk lembaga seperti itu," katanya. Malah menurutnya, Komisi III DPR (hukum) sebenarnya bisa terbuka menampung keluhan-keluhan masyarakat. "Bisa pula Komisi III mengangkat orang untuk menjadi ombudsman. Tapi Kopkamtib saya rasa juga bisa jadi ombudsman," katanya lagi. Ombudsman semula berdiri di Swedia di awal abad 19, kemudian meluas di beberapa negara Eropah seperti Skandinavia Perancis, Inggeris. Juga Papua Niugini dan beberapa negara bagian AS. "Ombudsman terdiri dari seorang, ia punya staf. Ia bukan orang pemerintah, diangkat oleh parlemen. Tugasnya menampung keluhan masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa," tutur Tasrif. Di Indonesia katanya, pernah ada percobaan membentuk lembaga seperti itu. Misalnya PARAN (Panitia Rituling Aparatur Negara) di tahun 1959 lalu operasi Budhi yang dipimpin Jenderal Nasution. "Ada pula KOTRAR (Komando Tertinggi Rituling Aparatur Revolusi), meskipun lembaga ini sifatnya agak lain dari PARAN," katanya. Tapi menurut Tasrif, PARAN akhirnya macet. "Sebab kewalahan menerima keluhan-keluhan. Barangkali juga karena ketika itu tidak mempan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus