Ada yang di kolong meja
Ada yang ditengah jalan
Ada yang memang sengaja
Ditaruh dalam lipatan
-- Benyamin S., "Pungli."
***
RUPANYA penyanyi lagu-lagu Betawi itu sudah pula ikut kampanye
memberantas pungli. Maka kaset produksi Remaco itu pun, akhir
Agustus kemarin dapat penghargaan dari Departemen Hankam. Dan
itu juga tanda, bahwa Operasi Tertib (Opstib) antipungutan-liar
dapat dukungan dari orang ramai. Opstib memang sudah mulai
tampak hasilnya.
Kepada Komisi I dan II DPR, pekan lalu Sudomo menyatakan "telah
berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 20 milyar." Itu
baru hasil operasi di jalan-jalan raya. Selain menggerakkan
Opstibda yang sudah mulai dibntuk di daerah-daerah, Sudomo
sendiri juga mengirim 5 7 perwira untuk mengawasi
jembatan-jembatan timbang di Jawa.
Dari pengawasan di jembatan timbang itu saja, terdapat kenaikan
pendapatan pemerintah secara menyolok - sekitar Rp 40,8 juta
sebulan. Di Jawa Barat naik 52,5%, Jawa Tengah 61,5% dan Jawa
Timur 22,8%.
Di lain fihak, tak sedikit pula sumber penghasilan daerah
bersumber dari macam-macam pungutan, sehingga Mendagri
Amirmachmud mengizinkan merubah APBD. Di kotamadya Balikpapan
misalnya, ada 18 macam pungli sebagai sumber pendapatan daerah.
Kalau ke 18 pungutan itu dihapus maka sekitar Rp 142 juta (10%
dari APBD) akan hilang. Belum lagi 10 Peraturan Daerah yang
belum disahkan Gubernur atau Mendagri, yang menghasilkan hampir
p 300 juta (25% dari APBD). Menurut Feisal Tamin, Ka Humas
Depdagri, kini segala macam pungutan di daerah sedang
diinventarisir. Kemudian diklasifikasi, mana yang pungli, mana
yang pungutan resmi dan sah.
Betapa pun, Opstib jalan terus. Beberapa pejabat telah diambil
tindakan. Bupati Tegal, Smn, karena terlibat pungli Tebu Rakyat
Intensifikasi, dikenakan tahanan kota. Seorang direktur dalam
lingkungan Departemen Perdagangan dipecat, empat pejabat lain
diskors. Begitu pula Komandan Kapal SAR Laut dan petugas KPLP
Tanjung Priok.
Saya Pertaruhkan . . .
Minggu lalu Opstibda Ujungpandang menindak petugas bandar udara
Hasanuddin. Dan sebelumnya dalam sebuah pendadakan di bandar
udara Halim Perdanakusuma, Sudomo berhasil 'memaksa' seorang
petugas wanita yang oleh orang ramai dijuluki "Ratu Pungli"
untuk mengaku. Itu serangkaian operasi yang oleh Sudomo disebut
'kejutan'.
Gerakan itu memang berhasil menarik simpati. Dan Presiden
Soeharto minggu lalu, menginstruksikan agar Opstib diteruskan
sampai aparatur Pemerintan benar-benar bersih - memanfaatkan
momentum kegairahan masyarakat. Simpati itu juga datang dari
Jenderal (Purn) A.H. Nasution, bekas ketua MPRS yang di tahun
60-an merasa gagal melancarkan Operasi Budhi memberantas
korupsi.
Semula Nasution sangsi. "Tanpa sistem dan konsepsi biar lima
tahun operasi hasilnya akal begitu-begitu saja," katanya
mula-mula. Kontan Sudomo menjawab, berusaha meyakinkan
kemantapan gerakannya. "Berikan kesempatan cukup kepada saya
sebagai generasi penerus dari Jenderal Nasution untuk mencapai
hasil yang lebih baik," katanya.
Berulang-ulang menegaskan bahwa Opstib pada akhirnya juga akan
menjangkau sampai tingkat atas, Sudomo menegaskan "saya
pertaruhkan segala-galanya." Dan Laksamana ini tampaknya memang
membutuhkan dukungan moril. Juga dari mahasiswa. Meskipun Lukman
Hakim, ketua DM UI, tak begitu bergairah. Baginya, "Opstib cuma
gerakan sepotong-sepotong, tidak integral."
Ketika suatu hari bertemu dengan Laksamana itu, Lukman bilang:
"Opstib bisa jalan terus Pak. Tapi suatu saat nanti akan
terbentur tembok tebal dan stamina Bapak akan mengendor." Sudomo
bertahan. "Tidak, saya tidak mainmain. Saya pertaruhkan
kedudukan dan empat bintang saya. Kalau gagal saya mundur," kata
Sudomo seperti diceritakan Lukman.
Tapi kesangsian terhadap kelanjutan Opstib, diakui atau tidak,
memang ada. Misalnya seperti yang disinyalir oleh Slamet
Danusudirdjo, ketua Tim Walisongo di Press Club pekan kemarin
menyambut ikrar 90 pengusaha EMKL memberantas pungli. Menurut
Slamet, usaha seperti yang kini dilancarkan Opstib itu sudah
sejak lama dilancarkan, "oleh kabinet demi kabinet, oleh
kekuatan politik demi kekuatan politik," katanya.
"Memang banyak rakyat yang sangsi terhadap usaha mencapai
pemerintahan yang bersih. Dalam hati kecil kita masing-masing
bertanya, ini benar akan jalan terus apa nggak. Ya kalau ya,
kalau saya sendiri jalan memberantas pungli, bagaimana yang
lain?" katanya. "Sejarah membuktikan bahwa kita ini selalu
panas-panas tahi ayam," tambahnya. Secara tak langsung Slamet
menilai, Opstib yang sekarang ini lain daripada yang lain.
Cowboy
Yang tampaknya bisa menenteramkan hati Sudomo tentulah pendapat
S. Tasrif SH, advokat terkemuka anggota Peradin Jakarta. Menurut
Tasrif, Sudomo ibarat seorang cowboy yang masuk daerah kacau
untuk memulihkan ketertiban dan mengembalikan kewibawaan
sheriff. Sesudah berhasil, si cowboy mundur. "Jadi dalam keadaan
tidak normal dan belum stabil, ada kalanya diperlukan tindakan
tegas dan segera," katanya.
Itulah sebabnya, lembaga seperti Kopkamtib menurut Tasrif bisa
saja melakukan hal itu. "Sebab lembaga itu dibentuk berdasarkan
TAP MPR No. XI 1973. Jadi ada dasar hukumnya," tambahnya.
"Dengan TAP tersebut, MPR memberi wewenang luar biasa kepada
Presiden yang kemudian dilimpahkan kepada Kopkamtib. Jadi kalau
suatu saat Sudomo memecat di tempat, bisa diterima."
Tapi ada syaratnya: semua tindakan Opstib harus
dipertanggungjawabkan kepada DPR, lewat Presiden. Sedapat
mungkin, memang melalui mekanisme yang normal hingga
lembaga-lembaga yang ada tetap berfungsi. "Tapi bukankah Sudomo
sendiri tidak langsung memecat, melainkan minta kepada atasan
pejabat yang bersangkutan untuk bertindak?" kata Tasrif lagi.
Dengan kata lain, Sudomo masih menghargai hirarki. Apalagi
menurut Sudomo, Opstib hanyalah membantu departemen-departemen
untuk melakukan penertiban. Dan dalam instruksi Presiden yang
terbaru No. 9/1977 ditentukan bahwa koordinasi pelaksanaan
Opstib ditugaskan kepada Menteri Negara PAN, sementara
Kaskopkamtib "membantu Departemen/Lembaga pelaksananya secara
operasionil apabila diperlukan".
Adalah Tasrif yang am.at gembira mendengar gagasan Sudomo
membentuk ombudsman. "Dulu Peradin pernah mengusulkan membentuk
lembaga seperti itu," katanya. Malah menurutnya, Komisi III DPR
(hukum) sebenarnya bisa terbuka menampung keluhan-keluhan
masyarakat. "Bisa pula Komisi III mengangkat orang untuk
menjadi ombudsman. Tapi Kopkamtib saya rasa juga bisa jadi
ombudsman," katanya lagi.
Ombudsman semula berdiri di Swedia di awal abad 19, kemudian
meluas di beberapa negara Eropah seperti Skandinavia Perancis,
Inggeris. Juga Papua Niugini dan beberapa negara bagian AS.
"Ombudsman terdiri dari seorang, ia punya staf. Ia bukan orang
pemerintah, diangkat oleh parlemen. Tugasnya menampung keluhan
masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh
penguasa," tutur Tasrif.
Di Indonesia katanya, pernah ada percobaan membentuk lembaga
seperti itu. Misalnya PARAN (Panitia Rituling Aparatur Negara)
di tahun 1959 lalu operasi Budhi yang dipimpin Jenderal
Nasution. "Ada pula KOTRAR (Komando Tertinggi Rituling Aparatur
Revolusi), meskipun lembaga ini sifatnya agak lain dari PARAN,"
katanya. Tapi menurut Tasrif, PARAN akhirnya macet. "Sebab
kewalahan menerima keluhan-keluhan. Barangkali juga karena
ketika itu tidak mempan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini