Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komarudin Watubun
Anggota DPR Fraksi PDIP Dapil Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhatian pemerintah terhadap masalah Papua selalu hilang-timbul. Perhatian muncul ketika ada kerusuhan di Wamena, misalnya. Tapi kemudian hilang setelah kerusuhan reda. Itulah problem besar bangsa ini. Sengaja atau tidak, cepat lupa, terlupakan, dilupakan, atau melupakan. Padahal masalah besar Papua sudah lama menjadi bara yang dengan cepat meledak, terbakar, dan membesar, yang mengancam integritas bangsa. Walau berganti pemerintahan, sejak Papua bergabung ke pangkuan Republik Indonesia, pola "cepat lupa atau melupakan" selalu digunakan untuk meredam konflik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengaja atau tidak, gaya negara mengelola Papua ini mirip media massa ketika mengemas pemberitaan atau isu. Padahal media massa sangat mungkin tidak mencerminkan kenyataan. Media bisa menyaring dan membentuk isu. Sederhananya, apa yang dipentingkan oleh media akan dipentingkan oleh publik. Apa yang dilupakan media akan dilupakan oleh publik. Begitulah cara kerja agenda setting media.
Gaya ini dilakukan oleh pemerintah terhadap Papua. Ketika Papua sedang dalam suasana "tenang", negara mengabaikan. Jika Papua "bergejolak", pemerintah pun seakan-akan paling sigap memadamkan kebakaran tanpa menyelesaikan akar dan sumber api tersebut. Pemerintah mulai mengirim pasukan, mengundang tokoh ke Istana, hingga menjanjikan pembangunan Istana di Papua, pucuk pimpinan keamanan berkantor di Papua, pergelaran seni dan budaya, dan sebagainya.
Gaya klasik ini secara tidak langsung "melecehkan" Papua. Bagi Papua, gaya begini juga mereka gunakan. Jika ingin diperhatikan, mereka membuat "perhatian", tidak hanya bagi negara, tapi juga dunia. Lalu mau sampai kapan begini terus?
Idealnya, negara memahami secara utuh problem mendasar dan menyelesaikan hingga ke akarnya secara bermartabat dan menyeluruh. Bermartabat berarti menjaga kehormatan semua pemangku kepentingan di Papua dan pusat. Tidak boleh ada salah satu pihak yang merasa kalah, tercoreng, malu, aib, dan hilang kehormatan. Menyeluruh berarti solusi ini menjadi komprehensif, mengakar, dan mengikat bagi semua kalangan.
Ada banyak kajian ihwal solusi atas masalah Papua. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia merupakan salah satu pihak yang secara komprehensif memberikan rekomendasi. Namun rekomendasi itu menguap begitu saja. Tak mengherankan jika publik Papua semakin apatis terhadap berbagai upaya penyelesaian konflik.
Masyarakat Papua sering membandingkan konflik di wilayahnya dengan konflik di Aceh. Jika di Aceh bisa selesai, mengapa di Papua tidak bisa? Apalagi salah satu rekomendasi solusi Papua dari LIPI adalah menggunakan cara penyelesaian konflik di Aceh.
Memang, konflik Aceh tidak sama persis seperti di Papua. Struktur organisasi pergerakannya juga berbeda dan ada berbagai perbedaan lainnya. Wacana yang sering muncul adalah apa yang menjadi syarat dalam proses dialog atau perundingan, siapa yang mewakili Papua, siapa fasilitator, siapa mediatornya, di mana dilakukan perundingan, dan seterusnya. Sayangnya, langkah menuju hal itu tidak pernah serius dilakukan.
Hal lain yang sangat mendasar adalah menjauh atau tak acuhnya para pemangku kepentingan yang ada di Papua dan pusat terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Sayangnya, undang-undang ini hanya dilihat dari sisi angka ekonomi, bukan substansi dari sebuah upaya memposisikan Papua secara terhormat.
Sebenarnya undang-undang ini merupakan jalan terbaik dan demokratis dalam mengurai masalah di Papua sekaligus menjadi resep jitu untuk mengobati berbagai penyakitnya. Inti undang-undang itu adalah mencapai dua tujuan mulia. Pertama, terwujudnya kondisi penduduk lokal (orang asli) Papua sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang memiliki kualitas sumber daya manusia sehingga mampu berperan sebagai subyek pembangunan dalam skala daerah, nasional, dan internasional. Kedua, terwujudnya pembangunan infrastruktur fisik dan nonfisik untuk membuka keterbatasan akses transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan, dan pendidikan.
Namun pemerintah pusat dan daerah abai terhadap undang-undang ini. Akibatnya, Papua pun salah urus: kemiskinan, pengangguran, kekerasan negara, pelanggaran hak asasi, peredaran senjata ilegal, korupsi, pengelolaan hasil alam yang semrawut, penegakan hukum yang hampir tidak berjalan, dan sebagainya.
Alih-alih menyelesaikan masalah, sebagian pemerintah lokal justru memperumit masalah. Sayangnya, keadaan ini seakan-akan "dibiarkan" oleh pemerintah pusat. Hampir tidak ada pelaku koruptif di Papua yang tertangkap tangan. Hasil pemeriksaan atau audit dari pemeriksa keuangan negara seolah-olah tidak ada masalah. Bahkan ada kelakar hampir semua pemerintah daerah mendapatkan predikat WTP alias wajar tanpa pemeriksaan. Begitu pun dengan penegakan hukum, yang berada di posisi landai. Padahal ini merupakan bagian dari masalah besar yang harus segera diatasi untuk mengembalikan kepercayaan publik Papua kepada negara.
Sebanyak 70 persen rakyat Papua memilih Jokowi, baik dalam pemilihan presiden 2014 maupun 2019. Inilah kesempatan Jokowi untuk mengevaluasi dan membuat "setting" berbagai hal dalam mengatasi masalah Papua. Jika tidak, Jokowi hanya masuk daftar pemimpin yang gagal mengurus Papua.