SEBUAH sengsara yang komplet. Lebih dari 100 ribu pekerja kita terusir dari negeri orang, dikejar-kejar seperti bandit, berdesak pulang dengan kapal laut, atau melarikan diri menembus rimba sampai perbatasan Republik. Sekitar 30 ribu orang rela menumpuk seperti sarden di Nunukan menunggu secarik izin untuk kembali ke negeri yang mengancam hukuman cambuk. Sengsara seperti apa yang melebihi kejadian ini.
Kalau Nunukan yang berpenduduk 80 ribu jiwa itu ditumpahi hampir separuh jumlah tersebut mendadak, dengan pekerja sosial dan dokter terbatas, dengan makanan sekualitas rebusan daun pepaya dan sekerat ikan asin, dengan sanitasi payah dan udara bau apak, apa yang bisa ditunggu selain ajal. Diare, infeksi saluran napas, malaria, hipertensi, dan stroke seakan berlomba datang dengan keluarnya paspor. Mereka tinggal menunggu, hari demi hari sejak awal Agustus lalu, sejak Malaysia memberlakukan aturan baru untuk tenaga kerja yang harus berizin resmi, siapa yang lebih dulu datang: maut atau paspor atau jadi gila (lihat rubrik Nasional).
Bahkan ketika malaikat maut bekerja dengan cepat di Nunukan pun yang diurus pemerintah bukan yang terpenting: membantah perbedaan angka korban mati. Para relawan menghitung sejak Mei lalu tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal 68 orang, sedangkan pos komando pemerintah menghitung "hanya" 35 orang. Apa pentingnya mengurus perbedaan ini sementara urusan yang hidup masih belum tertanggulangi? Barak darurat yang dibangun Menteri Sosial belum jadi seratus persen, kapal rumah sakit para dokter relawan dan pemerintah belum merapat sampai akhir pekan ini, di Jakarta media massa menulis besar-besar setiap hari, dan dari Johannesburg yang dingin Presiden RI bilang pers terlalu membesar-besarkan masalah.
Masalah TKI di Nunukan adalah masalah gawat. Korban mati di sana sudah jauh di atas tiga orang yang mati dalam kerusuhan Makassar selama tiga hari pada 1997, lebih banyak dari tragedi Tanjung Priok pada 1984 yang mencabut nyawa 24 orang, dan lebih banyak dari 81 peristiwa ledakan bom di Indonesia (minus Aceh dan Papua) selama Januari sampai Juli 2001 yang membuat 29 orang mati. Bukankah tak perlu lagi kita semua membesar-besarkan masalah yang sudah besar ini?
Kasus Nunukan pastilah terlalu berat untuk dipikul sendirian oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Presiden—lewat telepon (kalau sempat) dari salah satu dari sekian negara tujuan lawatan yang kesekian kali ini—bisa memerintahkan agar Menteri Sosial mempercepat pembangunan barak darurat. Menteri Perhubungan bisa ditugasi menyediakan kapal sebanyak-banyaknya untuk TKI yang mau pulang kampung. Menteri Kesehatan segeralah datangkan obat dan tenaga medis yang cukup. Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri segeralah berunding kembali dengan Malaysia agar para pekerja kita diperlakukan sebaik para tenaga kerja Filipina, seraya merundingkan berapa banyak tenaga kerja yang hendak diserap Malaysia mendatang ini. Pemerintah Daerah Kalimantan Timur boleh saja meneruskan rencana menyerap 17 ribu TKI untuk kebun-kebun di Kalimantan Timur. Dan media massa jelas mengambil porsinya sendiri: memberitakan apakah bantuan sudah tepat sasaran, tidak dikorupsi seperti yang sudah-sudah, dan melaporkan kepada publik apakah pemerintah ini cukup becus mengurus Nunukan.
Satu lagi, polisi—tolonglah, Pak Polisi, jangan ikut-ikutan memeras—bisa ditugasi mengawal pelabuhan. Saat para tenaga kerja mendarat, bukan kisah baru lagi jika mereka menjadi korban bandit-bandit kecil, aparat imigrasi, atau pencoleng yang siap menghabiskan tabungan bertahun-tahun para pekerja itu. Mereka digelari pahlawan devisa, tapi sama sekali tidak ada perlindungan dari pemerintah ketika mereka pulang kampung, apalagi penyambutan bagai juara bulu tangkis yang baru berjaya di negeri orang.
Soal TKI ini bisa menjadi indikator yang baik bagaimana sebuah pemerintahan bekerja untuk rakyatnya. Pemerintahan yang baik pastilah akan sekuatnya membebaskan rakyatnya dari sengsara yang mematikan—termasuk di Nunukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini